Slmet Priyadi
Blog│Jumat, 05 Juli 2013│20:43 WIB
Slamet Priyadi |
Suatu
ketika di salah satu masjid, seorang ustadz penda’wah berceramah dalam suatu
pengajian majelis taklim kaun ibu tentang pentingnya berinfak di jalan Allah.
Dan kebetulan, majelis taklim kaum ibu yang mendengarkan dakwah sang ustadz,
salah satu di antaranya adalah istrinya sendiri.
Ceramah
yang disampaikan sang ustadz tentang pentingnya infak, begitu mempesona,
ekspresif, simpatik, dan menarik dengan suaranya
yang begitu khas, terkadang lembut, terkadang keras dan tegas. Sehingga
beberapa jamaah sampai-sampai ada yang meneteskan air mata, menangis karena dakwah
sang ustadz merasuk ke dalam lubuk hati mereka, termasuk istrinya sendiri.
Istri sang ustadz menangis karena sangat tersentuh dengan apa yang disampaikan
dalam ceramah suaminya itu.
Setelah
pengajian selesai, istri sang ustadz bergegas pulang ke rumahnya. Setibanya di
rumah, Ia segera melepas perhiasan gelang dan kalung yang ada di tangan dan
lehernya. Ia juga mengambil sebagian harta dan emas yang disimpan di rumahnya
lalu diinfakkannya dengan tujuan semata-mata karena Allah.
Beberapa
jam kemudian, setelah selesai menyampaikan dakwah di masjid, suaminya pun tiba
di rumah. Sang ustadz segera menyapa istrinya dengan penuh perasaan cinta
sambil membelai rambut istrinya sebagaimana kebiasaan yang dilakukannya setiap
pulang dari berdakwah. Akan tetapi ia sedikit terkejut dan heran, karena
dilihatnya sang istri terkasih tidak mengenakan gelang dan kalung perhiasan. Ia
pun bertanya kepada istrinya:
“Istriku, kemana
gelang dan kalung perhiasan yang kau pakai di pengajian tadi? Kau tambah cantik
dengan memakai perhiasan itu, istriku.” Tanya sang ustadz kepada istrinya sambil
kembali membelai-belai rambutnya. Istrinya pun menjawab pertanyaan suaminya
dengan penuh manja:
“Suamiku...!
hampir semua majelis taklim kaum ibu yang mendengarkan ceramah di pengajian,
tersentuh hatinya oleh materi ceramahmu tentang pentingnya berinfak di jalan
Allah, termasuk istrimu ini. Bahkan aku pun ikut menagis pula tak bisa menahan
haru. Setelah selesai, ibu ketua majelis taklim menyerukan kepada semua ibu-ibu
anggota kelompok pengajian agar menginfakkan sebagian hartanya. Maka
dengan ikhlas penuh kesadaran sebagai umat Islam, aku pun menyerahkan pula
gelang dan kalung perhiasan itu, bahkan sebagian harta yang masih ada akan aku
serahkan pula untuk dikumpulkan oleh ketua pengajian yang selanjutnya akan
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.”
Mendengar
jawaban dan penuturan istrinya, sang ustadz bukannya berbangga dengan apa yang
telah dilakukan istrinya, tetapi malah kecewa dan sedikit marah:
“Aduh, aduh,
aduh, bagaimana ini? Istriku! Semua kata-kata yang aku ucapkan dalam ceramahku
tadi, itu bukan untukmu! Akan tetapi... untuk mereka hadirin kelompok pengajian
yang lain, bukan engkau tahu!”
Nah,
sobat! Jika kita cermati ilusterasi cerita di atas, tentu sangat paradok,
bukan? Seorang penceramah yang mengajarkan ajaran syariat agama yang seharusnya
harus dicontoh dan diteladani ucapan-ucapannya justru berbuat sebailiknya,
tidak adanya satu kata dan perbuatan. Bukankah Allah SWT berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain melakukan
kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Tidakkah
kamu berfikir?” (QS. Al-Baqarah:44)
Dengan
demikian, sebelum menggebu-gebu menyuruh atau menasehati orang lain untuk berbuat
baik atau berperilaku baik, sebaiknya terlebih dahulu melakukan perbuatan baik
oleh diri sendiri. Sangat keliru dan salah besar jika menuntut atau menyuruh
orang lain memiliki sifat-sifat baik sementara dia sendiri belum memiliki
sifat-sifat tersebut. Orang bijak berkata, “Orang
yang melihat dan mendidik dirinya sendiri adalah lebih berhak mendapat
kehormatan daripada orang yang mendidik dan mengajari orang lain.”
Imam
‘Ali berkata, “Barang siapa menjadi
pemimpin, hendaklah ia mulai dengan mengajari dirinya sendiri sebelum mengajari
orang lain, dan mendidik dengan perilaku sebelum dengan lisan.” (Khalil al-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda, hal. 25)
Demikianlah!
Semoga ada manfaatnya, terutama untuk diri saya sendiri!
Referensi:
Khalil
Al-Musawi,2002, Bagaimana Membangun
Kepribadian Anda, Jakarta: Lentera.
Penulis:
Slamet Priyadi,
Pangarakan - Bogor
Allah SWT berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain melakukan kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Tidakkah kamu berfikir?” (QS. Al-Baqarah:44)
BalasHapus