Jumat, 18 November 2016

SEJARAH KAKAWIN BHARATAYUDA 2 Oleh : Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto

Blog Ki Slamet : Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Sabtu, 18 November 2016 - 05:38 WIB 


 
Tentang kakawin Bharata – Yuddha dalam bahasa Jawa kuno ini dapat dikatakan, bahwa kitab ini disadur dalam bahasa Jawa baru menjadi Serat Bratyuda Jarwa oleh R.Ng. Jasadipura bersama-sama dengan kakawin lainnya di sekitar tahun 1755, ialah kira-kira akhir zaman Mataram Kartasura dan permulaan zaman Surakarta atau Surakarta awal. Kitab Serat Bratyuda ini merupakan satu-satunya kitab dalam kesusasteraan Jawa baru yang menyebutkan seorang tokoh sejarah, ialah raja Jayabaya dari Kediri, seperti disebutkan dalam kitab tersebut. sebab dengan adanya perpindahan puat kekuasaan politik dari Kediri, Singhasari, Majapahit, Demak dan Pajang menuju ke Mataram, hubungan sejarah antara kerajaan-kerajaan itu telah terputus-putus. 

Tetapi, kakawin Bharata-Yudha dalam pupuh I  6 dan 7, begitu pula dalam Pupuh LII  10-13 itu disebutkan nama raja Jayabhaya, nama raja ini terkenal juga sampai pada zaman Mataram Kartasura, ketika kakawin Bharata-Yudha itu disadur menjadi Serat Baratayuda oleh R.Ng. Jasadipura, Justru karena dalam seluruh kesusasteraan Jawa baru hanya dikenal seorang tokoh sejarah saja, nama Jayabaya itu bersama-sama dengan Serat Bratayuda yang juga mulai dipertunjukkan sebagai wayang itu menjadi keramat. Bahkan nama raja Jayabaya dihubungkan dengan pralambang atau ramalan-ramalan tentang sejarah pulau Jawa pada waktu yang akan datang, yang pada dasarnya merupakan suatu kepercayaan kepada seoran ratu adil yang telah dijalinkan dengan pengetahuan eschatologi Islam dan kepercayaan kepada kedatangan seorang Imam Mahdi.

Nama raja Jayabaya dalam kebudayaan Jawa juga menjadi keramat, karena cerita Bratayuda itu tidak secara sembarangan dapat dipertunjukkan sebagai permainan wayang kulit. Sebab, apabila tidak diadakan tindakaan-tindakan yang cermat untuk menghindarkan sesuatu yang dapat membahayakan, baik dalang atau pemukul gamelan, maupun orang yang mempunyai kerja atau penontonnya akan mengalami salah suatu bahaya, sehingga pertunjukan wayang dengan mengambil salah suatu episode dari cerita Bratayuda atau cerita seluruhnya itu sedapat mungkin tidak dipertunjukkan. Dari beberapa peristiwa yang dialami oleh mereka yang pernah melihat pertunjukan cerita Bratayuda sebagai lakon, ada beberapa macam kejadian, ialah dari kejadian yang biasa sampai kejadian yang sangat mengejutkan. Umpamanya saja dalangnya yang jatuh pingsan, kebakaran dalam dapur dan sebagainya. Dengan itu nama Jayabaya yang masih dikenal sebagai pencipta cerita Bratayuda secara psikologis makin kramat.

Karena adanya hal-hal yang misterius mengenai Serat Bratayuda dan lakon Bratayudaitu, cerita ini telah lama menjadi perhatian beberapa orang sarjana Barat yang mempelajari pengetahuan Orientalistik. Salah seorang yang tertarik oleh Serat Bratayuda saduran R. Ng. Jasadipura, ialah Thomas Stamford Raffles. Letnan Gubernur Inggris di Jawa, yang telah memuji keindahan Serat Bratayuda itu dalam kitabnya yang berjudul The Hisyory of Java. Karena kitab Serat Bratayuda pada waktu Raffles memegang kekuasaan di pulau Jawa ( 1811 – 1816 ) belum dicetak, artinya naskah-naskah masih dalam bentuk tulisan tangan, sebagian dari Serat Bratayuda itu oleh Raffles itu telah dimuat dalam kitabnya tersebut di atas. Dengan ini sebagian dari Serat Bratyuda telah dicetak dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris.

Sebagian akibat adanya kegiatan dari pihak Inggris yang sekalipun hanya berkuasa di pulau Jawa selama kira-kira 6 tahun, tetapi telah terbukti telah banyak menaruh perhatian sejarah  dan kebudayaan Indonesia. Pemerintah Beanda dan sarjana-sarjana Belanda mulai terbuka matanya, bahwa di Indonesia itu banyak manikam-manikam kesusasteraan yang tidak kalah nilainya dengan karya kesusasteraan di bagian dunia yang manapun juga. Tidak mengherankan, apabila sarjana P.P. Roorda van Eysinga, seorang sarjana Belanda dan Guru Besar dalam ilmu-ilmu yang mengenai kebudayaan Indonesia, pada tahun 1849 menterjemahkan sebagian dari Serat Bratayuda dalam bahasa Belanda. Karena yang diterjemahkan oleh Dr.P.P. Rooda van Eysinga itu hanya sebagian saja dari kitab Serat Bratayuda, kemudian Pemerintah Belanda minta kepada Dr. A.B. Cohen Stuart untuk menerbitkan seluruh kitan Serat Bratayuda dengan terjemahannya dalam bahasa Belanda. Naskah Serat Bratayuda itu selesai dicetak dengan huruf Jawa pada tahun 1856, dan pada tahun 1860 diterbitkan lagi dalam seri Verhandelingen Bataviaasch Genoofschap, sedangkan terjemahannya dalam bahasa Belanda juga diterbitkan sebagai seri Verhandelingen Bataviaasch Genooschap pada tahun 1860.

Orang boleh mengejek tentang cara bekerja Dr. A.B. Cohen Stuart dan beberapa banyak salah yang dibuatnya, tetapi sebagai perintis dalam penyelidikan kebudayaan Indonesia, pada waktu kira-kira sekitar tahun 1860-an, sarjana itu  termasuk salah seorang sarjana  yang tekun. Untuk menilai catatan-catatan mengenai kebudayaan yang ditambahkan kepada terjemahan Serat Bratayuda itu dapat diambil kesimpulan, bahwa Dr. A.B. Cohen Stuart itu telah memiliki pengetahuan kebudayaan dan kesusasteraan Jawa yang luas.
Bahwa dalam kalangan bangsa Indonesia sendiri juga ada yang memperhatikan Serat Bratayuda, dibuktikan dengan nyata ketika kitab ini diterbitkan di Surakarta oleh Diryaatmaja pada tahun 1901 dan 1908 dengan huruf Jawa. Ikhtisar dan isi Serat Bratayuda ini dimuat juga dalam karya, Kats yang mencoba untuk mengadakan tinjauan tentang wayang, karena seperti telah disinggung di atas bagian-bagian dari cerita Ramayana dan Mahabharata mulai dipertunjukkan sebagai wayang kulit. Barangkali lebih tepat untuk dirumuskan, bahwa lakon atau cerita wayang itu diambil dari Serat Rama Jarwa dan Serat Bratyuda Jarwa.  
 
S u m b e r :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto. 1968.
Kakawin Bharata–Yuddha. Bhratara - Jakarta