Jumat, 26 Desember 2014

ȘAḌ-ANGGA DAN WAYANG KULIT Oleh Prof. Dr. Edi Sedyawati


Wayang Kulit Pandawa Lima


KITA SEMUA WAYANG - denmaspriyadi.blogspot.com - Sabtu, 27 Desember 2014 - Di dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan indah dan berhasil harus memenuhi enam (ṣaḍ) syarat, sekumpulan syarat yang terdiri atas enam bagian atau perincian (angga), karena itu rumuan itu disebut Șaḍ-angga.  Rumusan ini aslinya didapatkan dalam pembicaraan mengenai seni lukis dari abad VII, tetapi secara umum dapat pula dipakai untuk bentuk-bentuk kesenian yang lain.

Syarat-syarat tersebut adalah:

1.                  Rῡpabheda, artinya pembedaan bentuk. 
 Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenal oleh yang melihatnya.  Bunga harus segera dapat  dikenali sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebaggai orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan, anak kecil sebagai anak kecil, dan seterusnya.   Pokoknya di sini diminta ketrampilan si seniman menyatakan bentuk-bentuk tanpa meragukan.

2.                  Sãdrśya, artinya kesamaan dalam penglihatan.
Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang terkandung di dalamnya.  Misalnya sebuah pohon dengan bunga-bunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini, misalnya dengan menggambarkan batang-batangnya yang serba membulat kecembung-cembungan, bunga-bunganya merekah dengan kelopak-kelopak yang tebal, buah-buahnya serba membulat, seolah-olah semua itu diairi oleh air sari yang  pada dasarnya adalah esensi dari kesuburan.

Demikian juga misalnya sang Buddha Sãkyamuni digambarkan dengan badan yang tegap dan kukuh karena tokoh ini melambangkangkan keteguhan batin dan kekuatan ajaran sucinya.  Kalau kita terapkan pada wayang kulit, maka kita melihat bahwa sãdrśya ini  terdapat misalnya antara watak Janaka yang rendah hati dan selalku siaga dengan wujudnya yang luruh tangguh itu; antara watak Kresna yang cerdik dan waspada dengan wujudnya: leher condong dengan muka terangkat lurus  ke depan; antara Durna yang licik dengan raut mukanya yang serba berkerinyut, dan seterusnya.  Bahkan lebih terperinci lagi, keadaan-keadaan batin tertentu dari beberapa tokoh utama wayang digambarkan dalam wujud –wujud dengan nuansa yang berbeda-beda, yang disebut wanda.   

Di sini kita lihat bahwa dalam wayang prinsip sãdrśya diterapkan pada seperangkat tokoh cerita yang sekaligus adalah tokoh-tokoh mitologis, yang masing-masing telah diberi penggambaran wataknyanya yang khas, sehingga akhirnya kita mendapatkan suatu pematokan gaya berdasarkan watak yang dikuatkan oleh tradisi.  Dengan adanya pengertian mengenai sãdrsya ini, yaitu kesejajaran wujud dan ide, wujud dan watak, maka orang maka orang akan menertawakan dan masyakat menolak, seandainya ada seniman yang mengadakan eksperimen misalnya dengan menggambarkan Janaka dengan badan besar dan muka mendongak.

3.                  Pramãna,  artinya sesuai dengan ukuran yang tepat.
Sebagai konsekuensi sãdrśya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu, ide-ide yang tetap ini harus diteguhkan dengan ukuran-ukuran yang tetap pula.  Di sini proporsi menjadi sangat penting.

Perbandingan antara besarnya Ṥyiwa dengan Pãrwãti harus sesuai dengan kedudukannya sebagai dewa utama dengan istri yang merupakan pesertanya tetapi juga sumber kekuatannya.  Perbandingan antara panjang muka dengan tinggi dada dan panjang kaki: ukuran dan perbandingan ini diatur misalnya dengan tala (= jengkal) sebagai unit pengukur terbesar, yang masih terperinci atas unit-unit yang kecil, seperti anggula yang panjangnya seperdua belas tala.  Dewa-dewa utama diberi ukuran 10 tala 4 anggula, istri-istri mereka 10 tala, asura, yaksa dan apsara 9 tala, dan seterusnya.  Dalam penggambaran tokoh-tokoh itu selanjutnya diperinci pula tinggi dahinya, panjang hidungnya, jarak antara hidung dan dagu, tinggi leher, dada, perut dan seterusnya.  Pendeknya, tradisi mengatur keseimbangan bentuk dan ide ini dengan menetapkan harmoni ukuran-ukutannya.

Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip pramãna juga menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam penggambaran.   Misalnya, mata yang berbentuk busur untuk orang yang beryoga, mata seperti daun padma untuk orang yang ketakut-takutan, mata seperti mata kelinci untuk orang yang marah dan sebagainya.  Jadi, pada dasarnya pramãna adalah norma mengenai pemakaian bentuk-bentuk dan ukuran-ukuran yang telah direka dengan setepat-tepatnya.

Bagaimanakah penerapan norma ini di dalam seni rupa wayang kulit?  Kita lihat bahwa rekaan pola-pola ini pun ada, malahan telah amat berkembang, sehingga kita dapatkan misalnya bentuk-bentuk mata seperti gabahan, kedelèn, telengan, dan sebagainya; bentuk-bentuk hidung walimiring, pangotan, bentulan, pelokan, pelokan ageng, sumpel, brutu, cempaluk, térong glatik, térong kopèk; bentuk-bentuk leher yang rebah, mayat, manglung, mapak, keker, dan ngadek; dan demikianlah seterusnya bagian tubuh yang lain seperti dahi, pipi, gigi, pundak, lambung, perut, sikap tangan, rambut terurai, sanggul, jenggot, dan bahkan tiap bagian pakaian dan perhiasan masing-masing diperinci lagi.  Maka watak dari suatu tokoh itu akan dapat dikesankan melalui pilihan atas sekumpulan pola seperti:  mata gabahan, hidung walimiring, dahi batukan, pipi memet, gigi retesan, leher rebah atau manglung tergantung dari wandanya, pundak pajek, atau mlèrèt tergantung dari wandanya, lambung nembat, perut ambangkèk sikap tangan nyempurit, rambut lungsèn, gelung minangkara,sumping waderan, sengkang (subang) kinjeng mas, kalung tanggalan gelang dapur gangsa, dodot (kain) bokongan bunder putran, sedang jarak antara kedua kakinya masuk golongan ciut.  Demikianlah watak-watak di dalam wayang dibentuk dengan membuat komposisi dari perincian bagian-bagiannya, perincian mana telah mewakili ide-ide tertentu.  Hubungan antara bentuk dan ide telah demikian rekat sehingga tak akan kita jumpai misalnya penggambaran Karna yang tinggi hati itu dengan leher rebah yang menyiratkan kerendahan hati.

4.                   Warnikhabangga, yaitu penguraian dan pembikinan warna.  Di dalam seni lukis dan juga dalam   seni rupa wayang kulit,  sudah  tentu  warna  mempunyai  peranan  yang penting.  Syarat ini adalah
meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat lukis, pencampuran warna, dan pemakaian warna secara tepat.  Ini pun menjadi syarat penting dalam seni rupa wayang, karena cara pembuatan, bahan-bahannya, maupun cara melekatkannya akan mempunyai pengaruh besar  pada keawetan dan sinar dari warna-warna tersebut, sedang pemilihan dan komposisinya harus pula dengan watak si tokoh, sehingga kesan keseluruhan adalah suatu keserasian yang sesuai untuk tokoh yang bersangkutan.  Termasuk ke dalam syarat ini  adalah pengetahuan akan perlambangan warna.

Unsur-unsur wadag dalam seni lukis adalah garis dan warna, karena itu kedua-duanya harus diatur dengan setepat-tepatnya.  Dalam hal ini tradisi menetapkan pramãna sebagai norma pengendali garis, warnikabhangga sebagai norma pengatur warna.

5.                   Bhãwa, bisa diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa.  Suasana dan pancran rasa           ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga si penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke ara perasaan yang dimaksudkan.  Hasil seni ini misalnya, harus bisa menimbulkan rasa sedih dengan sekuat-kuatnya.  Kalaupun ada rasa lain yang dapat menyertai dalam suatu adegan sandiwara atau suatu karya seni rupa, misalnya rasa kepahlawanan menyertai rasa kesedihan, tetapi kalau yang diberi tekanan kesedihannya, maka rasa yang lain itu dalam pengungkapannya harus tetap berkedudukan sebagai rasa tambahan,jangan sampai mengimbangi sehingga meragukan sifat rasa utamanya.

Dalam estetika Hindu, bhãwa, yaitu suasana atau juga  emosi yang dibagi atas dua macam:  yang tetap atau bertahan (sthãyi-bhãwa) dan yang mudah berubah (wyabhicãri).  Bhawa yang tetap ada 9, yaitu:  1) cinta, 2) tawa, 3) kesedihan, 4) kemarahan, 5) semangat, 6) ketakutan, 7) kemuakan, 8) keheranan dan 9) ketenangan, ketentraman batin.  Adapun bhãwa yang mudah berubah ada 33 macam, yang masing-masing bisa dikaitkan pada salah satu bhãwa yang tetap.  Demi hadirnya keindahan dalam suatu karya seni yang bermutu, maka salah satu bhãwa yang tetap harus selalu menonjol mengatasi bhãwa yang mudah berubah.  Jika suatu karya melebih-lebihkan pengungkapan wyabhicãri-bhãwa,maka karya itu menjadi sentimental.

Terdapatkah pengertian bhãwa ini dalam seni rupa wayang kulit?  Kiranya ada.  Bukankah dalam penggambaran yang kuat dari si tokoh wayang Yudistira kita melihat bhãwa ketenangan, kelepasan, memancar daripadanya?  Dan juga semangat dan kepercayaan diri sendiri terlihat sebagai bhãwa Srikandi; kegembiraan yang penuh humor dalam Petruk; kelicinan,  akal dan egoisme dalam durna; nafsu dan kebodohan dalam Pragalba, dan seterusnya?  Bhãwa ini bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan muncul asal aturan-aturan pramana dan warnibhangga diikuti.  Bhãwa ditentukan oleh penggarapan dari aturan-aturan tersebut, jadi bergantung pada bakat dari masing-masing seniman.

6.                   Lãwanya,  berarti keindahan, daya pesona.  Seperti halnya dengan bhãwa, lãwanya ini  pun adalah suatu kualitas yang ditentukan oleh bakat dan bukan semata latihan ketrampilan dari si seniman.  Dengan kehadiran lãwanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang mendalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya. Seperti misalnya kalau  orang melihat patung  Budha dari Sarnath (zaman Gupta) yang dengan kesederhanaan komposisi tapi didampingi keluwesan garis-garis dan pembidangannya, memancarkan keagungan, ketenteraman  dan kekhidmatan.

Demikian juga dalam seni rupa wayang kulit kita sering menjumpai karya yang memancarkan pembawaan tertentu.  Kita tahu, bahwa dalam wayang kulit seluruh bagian dari si tokoh wayang telah mempunyai perincian dengan penentuan pola-polanya, sehingga si seniman seolah-olah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk kreatif.  Namun, bakat besar dari si seniman akan memunculkan bhãwa dan lãwanya dengan merakit sejumlah pola yang telah ditentukan tadi menjadi satuan yang mengagumkan, dan di bagian-bagian tertentu memberikan tekanan-tekanan efektif dengan tatahantatahan yang lebih rumit atau sunggingan yang lebih menyolok.  Tokoh wayang yang dihasilkan akan tetap konvensional karena mengikuti semua ketentuan yang ada, tapi ia akan mempunyai pancaran keindahan yang khas.  Itulah yang dicita-citakan oleh syarat lãwanya.

Demikianlah perumusan tentang syarat-syarat keindahan dalam kesenian Hindu.  Sesuaikah ini semua untuk menilai kesenian – terutama yang tradisional – kita, kami silahkan masing-masing pembaca untuk mengkajinya. (Prof. Dr. Edi Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, hal. 14–18 Penerbit Sinar Harapan, cetakan kedua, Tahun 2000

Jumat, 26 Desember 2014 – 17:05 wib
Slamet Priyadi di Pangarakan, Bogor

Sabtu, 06 Desember 2014

Seni Tradisi Haruskah Putar Kemudi ?


Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Sabtu, 06 Desember 2014 - 23:38 wib

Lenong Betawi

Untuk menjawab pertanyaan judul artikel di atas tentu membutuhkan referensi yang adekuat tentang pengertian seni tradisi itu sendiri.  Menurut  prof. Dr. Edi Sedyawati  dalam bukunya, “Pertumbuhan Seni Pertunjukan” halaman 119-121 menyatakan bahwa, pengertian seni tradisi berkait dengan pertanyaan seperti  di atas bisa bermakna ganda. Artinya dapat dilihat dari dua arah yang berbeda.

Pertama, seni tradisi bisa dimaknakan sebagai kesenian yang diselenggarakan demi kelangsungan suatu tradisi dalam arti suatu satuan adat-istiadat. Dalam arti tradisi itu sendiri yang menjadi inti pokoknya, sedang kesenian hanya sebagai alat atau sarana penunjang yang menjadi penguat tradisi. Jadi, seni untuk tradisi.

Kedua, seni tradisi bermakna bentuk-bentuk kesenian yang memiliki tradisi dalam arti norma dan aturan-aturan penataan yang telah menetap. Kesenian itu sendirilah yang menjadi pokok. Seni tradisi berarti: seni yang memiliki tradisi.  Dengan cara melihat dari arah yang kedua ini kesenian dipandang sebagai kegiatan mandiri, yang punya kepentingan-kepentingannya sendiri.

Kedua arah pandang  ini berpengaruh pula terhadap arah pandang kita terhadap seni tradisi selanjutnya. misalnya, jika kita melihat seni tradisi sebagai seni yang dibina demi kelestarian tradisi, maka kita bisa melihat bahwa tujuan utamanya adalah untuk menciptakan dan mendorong rasa kebersamaan antara warga suatu masyarakat.  Sedangkan jika kita melihat seni tradisi sebagai kesenian yang memiliki sejumlah norma yang menetap, maka kita bisa melihat bahwa tujuannya adalah untuk pengembangan rasa keindahan dengan meramu teknik lewat jalur tertentu yang dianggap efektif.

Begitu juga dalam penikmatan seni tradisi, orang akan menikmati dan menghayati lebih awal peristiwanya, menikmati sajian seni sebagai bentuk dan ekspresi seni bersangkutan.  kecenderungan pertama terjadi jika orang melihat seni tradisi  sebagai sarana penguat tradisi, sedang  kecenderunan kedua terjadi jika orang melihat dari sudut kemandirian seni.

Kita sering melihat, mengalami, dan menikmati secara langsung suatu peristiwa adat. Di sana bisa kita rasakan keasyikkan, suatu kehangatan tertentu, dan suatu  keterwadahan baik diri kita sendiri maupun orang lain. Dalam peristiwa adat tersebut semua orang seakan sudah diberikan peran sehingga segala yang dilakukan menjadi mantap dan memiliki arti yang jelas. Dari peristiwa-peristiwa adat yang menggunakan kesenian, nampak bahwa kriteria teknik yang dipersyaratkan untuk penyajian kesenian itu tidaklah sama.  Ada kritia teknik yang menuntut perhatian khusus sang seniman, ada pula kriteria teknik yang hampir tidak ada sehingga siapa saja melakukannya.  Terkadan kriteria teknik yang minim itu diganti oleh kriteria lain yang non-seni, seperti kemampuan untuk menjadi medium.

Jika kriteria meningkat apakah dengan demikkian kesenian tradisi itu akan mendorong ke arah harkatnya sebagai wilayah kegiatan yang mandiri?  Mungkin saja jawaban atas pertanyaan ini harus berbeda-beda untuk setiap kasus.  Tetapi yang jelas adalah bahwa dalam hal ini fungsi seni yang telah terkembang itu bisa menjadi ganda:  ia menjadi sarana peningkatan nilai keindahan di samping tetap menjadi sarana pengaruh tradisi.  Bisa juga ia menjadi lepas dari adat-istiadat.

Seni tradisi yang secara teknis sudah jauh mengalami perkembangan, akan cenderung selalu kembali kepada bentuk-bentuk tertentu, dan ini yang memberi tanda pada bentuk gaya.   Bentuk-bentuk tertentu telah bertaut akrab dengan nilai-nilai keindahan tertentu, dan tidak jarang pula mengandung muatan lambang-lambang.  Seni tradisi memberi kesan ‘selalu berulang’.  Akan tetapi ternyata bahwa inovasi dalam penggarapan selalu terjadi dengan kadar yang bertingkat-tingkat.

Sesudah mengkaji apa seni tradisi itu, maka kita kembali pada pertanyaan judul  tulisan di awal: “Seni Tradisi Haruskah Putar Kemudi?”. Pertanyaan pokoknya adalah haruskah seni tradisi diputar haluannya? Pertanyaan ini bisa dijabarkan atas dua seginya:  a). Apakah tradisi adat istiadat masih sesuai dengan pandangan hidup kita kini; b). Apakah adanya patokan-patokan dan kebiasaan-kebiasan yang mapan dalam kesenian itu sesuai dengan hakikat seni. Banyak orang berpendapat bahwa kemodernan ditandai oleh penolakan terhadap itu semua: adat-istadat itu menghambat dan kesenian itu pada hakikatnya bebas; dan kita harus berubah dari tradisional menjadi modern.  Tetapi banyak pula orang berpendapat bahwa segala karya kebudayaan kita, khususnya kesenian, harus ‘berakar’.  Pandangan pertama membawa pada suasana kegelisahan, sedangkan pandangan kedua membawa kepada rasa aman.  Keduanya mempunyai segi baik dan buruknya. Maka kebanyakan yang ditempuh adalah suatu jalan tengah: seni tradisi diolah senantiasa sesuai dengan citarasa yang telah terbentuk, tetapi dilepaskan dari kaitannya dengan segala tahyul dan tabu.

Maka, jika kita setuju pada jalan tengah ini, itu artinya gambaran awal mengenai seni tradisi yang telah diurai seperti tersebut di atas mesti sedikit diubah, pengertiannya sedikit digeser.  Pergeseran ini adalah: adat-istiadat tidak perlu lagi menjadi satu-satunya panglima yang menentukan kembang-kempisnya kesenian; dan penciptaan serta pembukaan segala kemungkinan menggarap didudukkan sebagai mekanisme inti di dalam lingkungan bahan yang mengandung keajegan-keajegan dalam cita rasa dan nilai-nilai keinbdahan.

Pada jalur pengembangan melalui jalan tengah ini, atau yang mana pun, tujuan seni tak akan berubah.  Ia menghibur dan menjanjikan kepuasan, dan merangsang, bertingkat-tingkat dari badan, emosi, lalu ke jiwa.

Referensi:  
Edi Sedyawati 1981, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Pustaka Sinar Harapan

Slamet Priyadi
Pangarakan, Bogor
Sabtu, 06 Desember 2014-10:39 wib

Minggu, 16 November 2014

SOAL UAS SENI BUDAYA/MUSIK KLS. XI TP 21014-2015



SOAL ULANGAN AKHIR SEMESTER ( UAS)
SENI BUDAYA / SENI MUSIK

Satuan pendidikan      :    SMA Negeri 42
Mata pelajaran           :    Seni budaya / Seni Musik
Tahun pelajaran          :    TH 2014 / 2015
Kelas / Semester         :    XI IPA, IPS / Ganjil
Waktu                            :    90 menit

Indikator :
  Mampu menulis, membaca, dan menyanyikan lagu tradisi dan non tradisi daerah Nusantara

Siswa SMAN 42 Menyanyikan Mars PGRI
S O A L :
Tulis tanda kunci G di sebelah kiri setiap paranada, dan tanda kres ( # ) di garis ke 5 di sebelah kanan kunci G pada setiap para nada. Kemudian, tulislah ke dalam notasi balok notasi angka lagu “Mars PGRI” Ciptaan R. Endropranoto berikut ini dengan nada dasar G = do. Dan jamgan lupa, tuliskan pula lirik lagu tersebut di bawah paranada tepat di bawah notnya!

“MARS PGRI”
Do = G                                                                                               Ciptaan :
4/4   Allegretto                                                                              R. Endropranoto
     __             __.            __                  __    ____
3  3 4|5 . . 5 .  1|5. . 3 .  4| 5      6   4  3  2      1|2 .  . 
P G R  I      a - badi    tetap mempersatukan di-ri
        ____           __     __.          .__.    .
4     4      5 | 4 . .  7    7   1|7. . 1   1 |2 7  5  4|3 .  .
Dengan nama  nan sentosa    lahir negara kita
     __             _.              __               ___      ____
3  3 4|5 . . 5 . 1|5. . 3 .   4|5     6  4   3     2      1 |  2 .  . 
P G R  I      a - badi   bernaung di bawah sang panji
     ___           __      ___.           .__ .   .
4  4    5 | 4 . .  7     7    1|7 .  . 1    1|2    7   5   4|3 .  . 
Sinar surya   nan  merata      anggotanya bersama
R e f f r e i n  :
    __           ___   ___             .   .___.     .  __.    .__.   __.   .
5 .  5 | 5 . 4    5  4   5|3    5 1   1     1 | 1 .   1   1    1 7   1|2 . 6
 Wahai kawan guru se-mu - a bangunkan rakyat dari  guli - ta
         __         ___    .                     ____                   ___        ___    
0| 6 .  5  6    7   6| 1      3     5    3      4 |  5    7    6    5      4    2 |3  .   .
     Ki -talah penyuluh bangsa pembimbing melangkah ke muka
    __          ____   ___            .    .___.   .   .___.    .      __.    .
5 .  5 | 5 . 4     5  4   5 |3   5 1   1     1|1   1     1   1    7   1 |2 .  6
  Insyaflah ‘kan kewajiban kita mendidik mengajar  putri putra
            __         ___      .                ___                ___    __.    .    
  0 | 6 .  5   6   7   6  | 1     3  5   3    4 | 5   7   6   5   7  2 |1  .   .  ||
        Ki-talahpembangun jiwa  pencipta kekuatan negara

Selamat mengerjakan !


.
Nama siswa       :
NILAI
Kelas                  :

Hari/Tanggal     :
No. Ulg / absen :