Selasa, 07 Juli 2015

“DUA BUAH CATATAN PUISI" Karya : Ki Slamet 42

PANCASILA SAKTI

“KETIKA PANCASILA RAPUH TAK BERDAYA”
Karya : Ki Slamet 42
Saat Sang Rajawali Garudaku luka parah hampir mati
Kedua sayapnya tiada berdaya terikat kuat tali temali
Bulu-bulunya lepas semua, nyaris tak bisa tumbuh lagi
Tubuhnya  gemetar kedinginan tiada yang mau peduli
Maka, aku baca dalam hati, mantra aji Pancasila sakti 
“Ya,  Allah Tuhanku! kuatkanlah  jiwani  Ketuhananku
Ya, Allah Tuhanku! bangkitkanlah rasa Kemanusianku
Ya,  Allah Tuhanku! kuatkan rasa Persatuan di jiwaku
Ya,  Allah  Tuhanku! kuatkanlah  jiwani Kerakyatanku
Ya,Allah Tuhanku! tumbuhkan rasa Keadilan sosialku”
Meskipun kedua matanya, masih rabun tak bisa melihat
Walaupun lehernya,  masih lunglai tiada bisa menggeliat
Kendati kedua sayapnya,  masih terbelenggu tali kawat
Badan dan kaki,  masih belum bisa  topang  beban sarat
Namun, aku yakin kelak kembali semula, sehat wal’afiat
Dan, Sang Rajawali Garudaku mampulah terbang tinggi
Kepakkan sayap menguak awan hitam yang menyelimuti
Di seluruh  Nusantara, bumi ibu pertiwi nan berih suci
Kibarkan Sang Saka Merah Putih, pusaka bangsa sejati
Kokohlah dalam kebhinekaan yang asri berwarna-warni
Dan,  UUD 45,  Pancasila sakti,  akan  selalulah berjaya
Di dalam menaungi roman kehidupan  bangsa Indonesia
Dalam bermasyarakat bernegara,  berbangsa dan agama
Kendati  berbeda-beda sukunya, agama, dan budayanya
Tetapi hidup rukun di Negeri yang Bhineka Tunggal Ika
Bumi Pangarakan, Bogor
Rabu, 08 Juli 2015 - 08:59 WIB

Image: "Tokek Di Atap Rumah" ( foto: SP )
Tokek di atap rumahku

“TOKEK ITU INGATKAN AKU SHOLAT LIMA WAKTU”
Karya : Ki Slamet 42
 
Ada seekor tokek di atap rumahku yang selalu saja berbunyi
Saat jelang waktu Isya, Subuh, Lohor, Maghrib, yang diawali
Dengan bunyi suara  seperti orang sedang tertawa,  dua kali
Lalu berbunyi,  tokek,  tokek,  tokek, tokek, tokek, lima kali
Seperti meingatkanku,  untuk lakukan kewajiban yang hakiki
Tokek itu  memiliki tubuh  seperti tokek-tokek  yang lainnya
Berwana putih krem dihiasi bentuk tutul cokelat gula Jawa
Sembunyi  di balik atap muncul merayap saat akan bersuara
Mengigatkan aku dan semua orang yang ada dalam keluarga
Agar tiadalah lupa sholat lima waktu Rukun Islam yang lima
Saat aku buka puasa minum seteguk kopi dan makan kurma
Aku lihat tokek itu kembungkan perut, mulutnya menganga
Tokek itu  berbunyi lagi,  keras  dan lantang sekali suaranya
Hingga terasa getarkan dada,  bulu romaku bergidik jadinya
Kedua matanya mendelik ke arahku, seperti bicara berkata:
Jika tuan tidak melakukan sholat, puasa tuan percuma saja
Tak akan dapat pahala karena sholat itu adalah yang utama
Kewajiban setiap manusia kepada  Sang Khaliknya  di dunia
Yang tak bisa ditinggalkan ke mana pergi dimanapun berada
Meski dalam keadaan apa pun, sehat, sakit, tua atau muda
Bumi Pngarakan, Bogor
Minggu, 05 Juli 2015 – 16:43 - WIB

"PUISI-PUISI SLAMET PRIYADI": “KETIKA PANCASILA RAPUH TAK BERDAYA” Karya : Ki S...: PANCASILA SAKTI “KETIKA PANCASILA RAPUH TAK BERDAYA” Karya : Ki Slamet 42 Saat Sang Rajawali Garudaku luka parah ha...

Rabu, 01 Juli 2015

KISAH SYEH ‘ABDULLAH TURUGBADI BERSAMA MURID-MURIDNYA Diceritakan oleh Sita Rose

Image: "Sita Rose" ( Foto: SP )
Sita Rose
GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS - Kamis, 02 Juli 2015 - Dikisahkan, suatu ketika Syeh ‘Abdullah Turugbadi dari kota Thus berkumpul bersama murid-muridnya sambil makan roti yang sudah disediakan di atas meja.  Berkatalah Syeh Turugbadi kepada murid-muridnya:

“Wahai, murid-muridku! Sebentar lagi kita akan kedatangan seorang tamu yang patut kita hormati, dia adalah sahabat lamaku bernama Mansyur al-Hallaj dari kota Qasymir. Sambutlah dia, dan hormati sebagaimana mestinya, jangan lihat dan bertanya dengan apa yang dibawa dan dilakukannya di sini, karena dia akan melakukan hal-hal besar terkait dengan pelajaran yang akan kalian dapatkan nanti yang mungkin saja itu tidak kau mengerti dan fahami sebelumnya!”

Selang bebera lama kemudian, tibalah Syeh Mansyur al-Hallaj yang pada saat itu menggunakan pakaian qaba’ hitam dengan membawa dua ekor anjing hitam yang dirantai di kedua lehernya.  Sementara Syeh ‘Abdullah Turugbadi menyuruh murid-muridnya untuk menyambut Syeh Mansyur al-Hallaj sahabatnya itu:

“Nah, murid-muridku itulah dia, orang yang kita tunggu-tunggu! Bangkit dan sambutlah dia dan ingat pula dengan kata-kata pesanku kepada kalian semua, tadi!”

“Baik, guru!”

Demikian Syeh Turugbadi berkata kepada murid-muridnya yang segera ke luar dari ruangan menghampiri menyambut Syeh Mansyur al-Hallaj, dan mengantarnya masuk menuju ruangan tempat gurunya yang memang sudah menantinya sejak tadi.  Murid-murid  Syeh ‘Abdullah Turugbadi merasa heran juga dan bertanya-tanya dalam hati dengan apa yang dibawa oleh sahabat gurunya itu, dua ekor anjing hitam yang menurut ajaran fiqih Syafi’i yang dianutnya, khewan anjing dianggap najis dan haram.  Akan tetapi mereka semua tak mau bertanya-tanya lagi dan pertanyaan itu hanya disimpannya saja di dalam hati karena sebelumnya mereka memang sudah diberi tahu oleh gurunya tentang Syeh Mansyur al-Hallaj sahabat gurunya itu.

Syeh Turugbadi pun menyambut sahabatnya itu dengan memeluknya erat-erat tanda rasa persahabatan yang penuh keakraban dan ketulusan. lalu dia mempersilahkan sahabatnya itu untuk duduk di bangku yang telah disediakan, sementara murid-muridnya duduk bersila di atas permadani di ruang tamu yang sekali gus juga menjadi ruang tempat belajar murid-muridnya.

“Sahabatku, silahkan masuk dan duduklah di sini, aku sudah lama menanti kehadiranmu untuk memberikan sedikit pelajaran Islam kepada murid-muridku terkait dengan sifat-sifat kebanyakan manusia yang selalu saja bersikap curiga, penuh syak wasyangka dan sering menilai dan melihat orang lain dari luarnya dan segi buruknya saja!”

“Yakh, begitulah memang sifat kebanyakan manusia, sahabatku Syeh Turugbadi. Kebanyakan mereka justru hanya mampu melakukan perbuatan saleh secara ritual vertikal saja, manakala menerapkannya secara horisontal kepada sesama, kepada setiap orang, kepada semua binatang, dan alam lingkungan, acapkali mereka justru menjadi alpa dan lupa.  Sebagai contoh kecil, tidak menjawab salam dari orang yang mengucapkan salam kepadanya, memalingkan muka, membusungkan dada saat bertemu dengan teman di tengah jalan, merasa paling pintar, merasa paling benar dan merasa lebih kaya dan dari orang lain, dan lain sebagainya.”

Demikian kata-kata yang diucapkan Syeh Mansyur al- Hallaj kepada Syeh Abdullah Turugbadi sambil memanggil kedua ekor anjingnya untuk duduk di sampingnya lalu kedua anjingnya itu diberinya masing-masing sepotong roti yang ada di atas meja. Perbuatan ini tentu saja sangat mengejutkan murid-murid Syeh Turugbadi kecuali Syeh Turugbadi sendiri yang memang sudah mengenal lebih dekat keyakinan Syeh Abdullah al-Hallaj tentang anjing.  Demi melihat keterkejutan dan perasaan tidak senang dari murid-murid Syeh Turugbadi dengan apa yang dilakukannya maka dia pun melanjutkan kata-katanya kepada Syeh Tugbadi:

“Wahai sahabatku Syeh Turugbadi, aku merasa murid-muridmu tidak suka dengan apa yang aku lakukan, membawa kedua anjing hitam peliharaan dekat denganku di sini dan memberinya roti yang telah kau hidangkan kepadaku. Aku harap nanti kau bisa menjelaskannya kepada mereka semua karena yang aku lakukan pasti kau sudah memahaminya, dan sekarang aku mohon diri untuk kembali ke Qasmir.  Aku mengucapkan banyak-banyak terimakasih atas segala kebaikanmu kepadaku, dan maafkan atas segala tindakanku yang mungkin tidak berkenan di tempatmu ini, sekarang aku mohon diri, assalamu’alaikum!”

Mendengar perkataan Syeh Manyur al-Hallaj, Syeh Abdullah Turugbadi hanya tersenyum, setelah membalas salam, ia mendekati Syeh Mansyur dan memeluknya sambil berkata:

“Baiklah sahabatku, kau jangan khawatir dan aku akan menyampaikan pesan pelajaran darimu tadi kepada murid-muridku, maafkanlah atas sikap mereka yang kurang berkenan kepadamu, sesungguhnya itu dilakukan karena mereka belum mengerti dan memahami makna religi di balik sikap dan perbuatanmu, selamat jalan sahabatku, assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikum salam!”

Setelah membalas salam, Syeh Abdullah Turugbadi, Syeh Mansyur al-Hallaj pun keluar meninggalkan ruangan tempat tinggal sahabatnya.  Sementara Syeh Abdullah Turugbadi bersama muridnya mengantarnya sampai di depan pintu.

Selang beberapa menit kemudian Syeh Abdullah Turugbadi bersama murid-muridnya kembali ke dalam ruangan tempat mereka berkumpul.  Murid-murid Syeh yang masuk lebih dulu masuk ke ruangan segera duduk bersila di atas permadani, sedang Syeh Abdullah yang masuk kemudian langsung menuju bangkunya.  Sejenak kemudian ia berkata kepada murid-muridnya:

“Murid-muridku, sesungguhnya tadi kalian telah mendapat pelajaran agama dari sahabatku Syeh Mansyur al-Hallaj terkait ajaran islam yaitu, prilaku saleh secara horisontal, apakah kalian bisa memahaminya dengan makna religi yang terkandung dalam sikap dan tindakan yang telah dilakukan sahabatku, Syeh Mansyur al-Hallaj?”

Mendengar pertanyaan seperti itu murid-murid Syeh Turugbadi, yang memang sebelumnya tidak mengerti menjadi tambah tidak mengerti lagi, mereka semua hanya diam seribu basa meski di dalam hatinya banyak pertanyaan yang ingin dikemukan kepada gurunya.  Dalam situasi yang hening itu salah seorang murid tertua bernama Khasan mengajukan pertanyaan kepada gurunya:

“Guru, mohon maaf sebelumnya, kami kira semua murid-muridmu ini tidak mengerti, masih belum bisa memahami, dan tidak bisa menerima tindakan Syeh Mansyur al-Hallaj yang membawa dua ekor anjing hitam ke dalam ruang belajar ini, apalagi memberi makan kedua anjing peliharaannya itu dengan roti yang kita hidangkan kepadanya.  Bukankah menurut faham yang kita anut anjing adalah binatang yang najis dan diharamkan, mengapa guru mengundang orang semacam itu ke mari? Orang yang sudah jelas-jelas tidak menghormati kita dan membuat makanan kita menjadi najis dan tidak suci lagi untuk dimakan, dan terus terang kami, terutama aku, masih belum mengetahui makna religi yang terkandung di dalam sikap Syeh Mansyur al-Hallaj itu, dan belum bisa menerima atas semua tindakan yang dilakukannya di sini yang menurutku adalah tindakan yang tidak patut untuk dicontoh?”   Mendengar penuturan dari rekannya, Khasan yang dianggapnya ada benarnya, semua murid-murid Syeh Abdullah serentak berseru:

“Betul, betul, guru! Benar, memang benar sekali apa yang dikatakan Khasan itu, benar Guru!”  Demi mendengar reaksi yang cukup keras dari semua murid-muridnya dengan tindakan yang dilakukan sahabatnya, Syeh Abdullah Turugbadi menanggapinya dengan tenang:

“Baiklah murid-muridku, aku akan menjawab dan menjelaskannya secara rinci kepada kalian semua, dan sekarang mohon kalian semua mendengarkan dan memperhatikannya dengan baik.  Jika masih ada yang belum jelas dengan penjelasanku, kalian boleh mendiskusikanya lagi, aku akan selalu terbuka untuk itu, apakah kalian sudah siap untuk mendengarkan penjelasanku!”

“Siap guru, kami semua sudah siap untuk mendengar dan memperhatikan wejangan guru!”

“Baik, sekarang aku akan menjelaskannya kepada kalian semua! Sebagaimana yang telah aku sampaikan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya bahwa di dalam pokok-pokok ajaran Islam yang sudah kita ketahui bersama bahwa dengan syariatnya, Islam mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yang kita sebut hubungan secara vertikal,  dan Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan alam lingkungannya seperti lingkungan di sekitarnya baik kepada hewan, kepada tumbuh-tumbuhan dan sebagainya yang kita sebut hubungan secara horisontal, dan kesemuanya itu terkeristalisasi dalam prinsip ajaran Islam yaitu, yang pertama adalah Iman, hubungan kepercayaan secara batiniah. Kedua  Islam, yaitu amal perbuatan shaleh, dan yang ketiga adalah Ihsan, yaitu akhlaqul karimah. Dan perlu kalian ingat bahwa ketiga prinsip ajaran Islam itu harus terwujud dan terejawantah dalam sikap perbuatan dan prilaku kita sehari-hari di dalam kehidupan ini murid-muridku.” Syeh Abdullah Turugbadi menghentikan wejangannya, lalu menolehkan kepala ke arah murid-muridnya yang nampak masih antusias memperhatikan dan mendengarkan wejangannya. Setelah menarik nafas dalam-dalam, ia melanjutkan wejangannya kembali.

“Nah, murid-muridku! Terkait dengan tindakan, sikap dan perilaku Syeh Mansyur al-Hallaj yang sudah kalian saksikan dan alami sendiri seharusnya kalian bisa mengkaitkannya dengan ketiga prinsip ajaran Islam tadi yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.  Menurutku apa yang dilakukan Syeh Mansyur al-Hallaj dengan memberi makanan roti kepada kedua anjingnya itu termasuk perbuatan saleh secara horisontal yang mengasihi sesama mahkluk hidup kepada manusia, hewan, dan lingkungan alam sebagaimana yang termaktub dalam prinsip ajaran Islam yang pokok tadi, Iman, Islam dan Ihsan!” Kembali Syeh Abdullah Turugbadi menghentikan wejangannya untuk bernafas sejenak.  Sambil mengangkat tangan kirinya dan menunjukkan satu jari telunjuk ke arah murid-muridnya ia melanjutkan wejangannya:

“Murid-muridku, yang lebih teramat penting dan pokok lagi ialah bahwa makna religi yang terkandung dalam sikap Syeh Mansyur al-Hallaj adalah bahwa kedua anjing berwarna hitam yang dirantai dan dibawanya serta itu sesungguhnya simbol atau lambang nafsu-nafsu yang bersemayam bersembunyi dalam diri kita yang teramat sukar dikendalikan bahkan mungkin dilenyapkan. Dan, Syeh Mansyur al-Hallaj adalah orang sudah mampu mengendalikan itu dengan merantai dan mengendalikan anjing-anjing peliharaannya yang merupakan lambang nafsu-nafsu yang ada dalam dirinya yaitu nafsu lawwamah, nafsu sufiyah, dan nafsu amarah sebagai mana hal tersebut sudah aku sampaikan pada pelajaran sebelumnya.  Sekarang bagaimana dengan kalian sendiri?  Apakah kalian sudah mampu dan bisa mengendalikan dan melenyapkan nafsu-nafsu tersebut? Aku melihatnya justru nafsu-nafsu tersebut masih tersembunyi, masih melekat kuat dan kalian sepertinya masih belum mampu mengendalikan, mengeluarkannya apalagi untuk melenyapkan nafsu-nafsu tersebut dari dalam diri kalian.  Nah, aku sebagai gurumu sungguh tak membutuhkan jawaban dari kalian untuk  pertanyaan-pertanyaan ini dari kalian, dan kalian bisa merenungkannya sendiri!”

Pustaka:
—Drs. H. Effendi Zarkasi, “Unsur Islam Dalam Pewayangan”
    Penerbit Alfa Daya Jakarta 1981
—Jamaluddin Kafie, “Tuntunan Pelaksanaan Rukun Iman Islam dan Ihsan”
    Penerbit Al-Ikhlas-Surabaya 1981
—YB. Prabaswara, “Syeh Siti Jenar Cikal Bakal Faham Kejawen”
    Penerbit Armedia Jakarta

Rabu, 01 Juli 2015 – 08:20 WIB
Sita Rose
Di Bumi Pangarakan, Bogor