Senin, 25 Februari 2019

Drs. Slamet Priyadi: "HIKAYAT PANJI SEMIRANG"

Blog Slamet Priyadi : Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Senin, 25 Febuari 2019 - 21:07 WIB

 
Image "Candra Kirana" (Foto: SP)
Candra Kirana
“HIKAYAT PANJI SEMIRANG”

I.                   Galuh Candra Kirana

Cuaca terang di pagi hari amat menarik hati
Burung kenari kuning kecil menari bernyanyi
Puteri jelita bercengkerama di Banjaran sari
Sapa anggrek putih nan semerbak mewangi

Undung-undungnya darilah sutera kesumba
Berwarnalah beledu abu-abu kekembennya
Berkain batik parang kelitik berlipat sembilan
Rambut ikal mayang amatlah cantik rupawan

Putri Candra Kirana tersenyum amat ayunya
Sang kupu-kupu terbang hinggap di bunga
Menghisap sari kembang dengan sepuasnya
Lalu terbang hinggap di bahu Candra Kirana

Pada sang putri Sang kupu-kupu menyapa :
“Selamat pagi hai sang Putri Candra Kirana!”
Sang putri Kirana pun tolehkanlah kepalanya
Kupu-kupu tersenyum menatap mata Kirana

Sang kupu-kupu terbanglah seketika itu juga
Ajak bermain Candra Kirana di taman bunga
Sementara itu sang bayu sejukkanlah suasana
Hembuskan, semerbakkan wewangian bunga

Dedaunan pun bergoyang mendesir suaranya
Sayup-sayup terdengarlah suara emban setia
Ken Sangit dan Ken Bayan dayang Putri Kirana
Yang sedang berdendang hibur Putri Candra :

“Tuan putri, betapa indah taman Banjaran Sari
Tentu tuan putri amatlah menyukai taman ini!”
“Betul emban, aku amat merasa nyaman di sini
Setiap pagi tatap bunga yang berwarna-warni

Ada yang putih, merah, kuning, biru, dan ungu
Semuanya indah-indah dan aroma baunya itu
 Betapa harumnya dan itu amat menghiburku!”
Kata Putri Kirana kepada kedua embannya itu

Tak jauhlah dari mereka ada gadis cantik rupa
Putri dari Paduka Liku selir sang baginda Raja
Galuh Ajeng namananya yang usianya sebaya
Dengan putri cantik jelita Galuh Candra Kirana

Galuh Ajeng mempunyai tabiat iri pendengki
Sifat buruk ibundanya yang iri dan pendengki
Rupanya menurun dalam diri Galuh Ajeng ini
Hingga saat melihat Kirana kenakan gaun asri

Mengenakan undung-undung sutra kesumba
Hatinya jadi teriris iapun membuanglah muka
Wajahnya cemberut bersungut-sungut murka
Galuh Ajeng merengek manja seraya berkata:

“Ibu, lihatlah Kirana, ia kenakan undung sutra
Kesumba yang teramatlah elok indah rupanya
Sedangkan undung-undung sutraku jelek rupa
Ibu, mengapa aku dibedakan dengan Kirana?”

Galuh Ajeng masih terus merajut pada ibunya :
“Ibu, tiadalah dayang yang suka temani hamba
Lihat Kirana, dayang-dayang selalu bersamanya
Dan kepadaku tiada dayang-dayang yang suka

Ibu, betapalah terasa sakit rasanya hati ananda
Kenapa Baginda pilih kasih dan membeda-beda  
Jikalah begini terus lebih baik ananda mati saja!”
Galuh Ajeng merengek, menangis tiada hentinya

Sang ibu pun memeluk Galuh Ajeng putrinya itu
Mengusap-usap kepala Galuh Ajeng penuh haru:
“Sudahlah, kau janganlah terus menangis putriku
Memang sudah beginilah nasib kita, ayahmu itu

Benar-benar pilihlah kasih dan membedakan kita
Itu karena kau bukan lahir dari permaisuri utama
Ibumu ini semata-mata hanya seorang selir saja
Yang diambil dari desa ketika ia datang ke sana!

Karena itu, lebih baik kita pulanglah saja ke desa
Daripada di sini kita hidup selalu dirudung duka!”
Mendengar itu Sang Baginda Raja terharu hatinya
Maka dirayunya Paduka Liku selir muda baginda

Dipeluknya Galuh Ajeng kemudian Baginda Raja
Mengajak mereka untuk duduk sejajar bersama
Baginda Raja juga panggil Galuh Candra Kirana
Agar memberikan undung-undung kesumbanya

Kepada Galuh Ajeng, tetapi  Kirana menolaknya
Ia justru kembali ke istananya diikuti selir tertua
Dan dayang-dayang, baginda pun gusar hatinya
Sungguh ia tak menduga apabila Candra Kirana

Amatlah berani membangkang akan perintahnya
Ia hendak murka tapi malu kepada permaisurinya
Yang sedari tadi  sedang memperhatikan dirinya
Sejenak mereka pun jadi saling bertatapan mata

Sementara itu untuk hibur dan tenangkan hatinya
Galuh Candra Kirana lalu ia pergi bermain boneka
Ke puri Mahadewi tempat para dayang-dayangnya
Bonekanya digendong, dinyanyikan dan diciumnya

Tiba-tiba Galuh Ajeng muncul hapiri Candra Kirana
Boneka Candra Kirana itu hendaklah dirampasnya
Tetapi dengan segera Candra Kirana mengelaknya
Lengan Galuh Ajeng dilempar ke sisi kiri tubuhnya

Merah padamlah wajah Galuh Ajeng karena merasa
Malulah oleh dayang-dayang yang sedang berada
Di puri Mahadewi. Ken Sanggit, Ken Bayan tertawa
Lihat tubuh Galuh Ajeng yang terlempar dari arena

Betapa malu Galuh Ajeng, ia berlari hampiri ibunya
Sambil guling-guling, dan menangis sejadi-jadinya
Ibunya, Paduka Liku pun menjadilah kalap seketika
Berteriak meminta tolong menarik-narik rambutnya

Tingkahnya bagaikan orang yang hilang ingatannya
Para dayang-dayang yang hendak menolong kedua
Orang ibu dan anak yang sedang berangasan murka
Tiadalah yang bisa meredam amok nafsu amarahnya

Ketika itu datanglah Sri Baginda Raja meredamnya
Galuh Ajeng di angkatlah dari tanah, dan ibundanya
Paduka Liku dipeluk dan dicumbu rayu begitu rupa:
“Duhai manisku, janganlah berbuat seperti ini, dinda

Kanda tak sampai hati melihat dinda dan buah kita
Galuh Ajeng itu teramatlah dirudung duka nestapa
Mari kita duduk bersama di balai peranginan sana!”
Lalu Baginda Raja menggendong selir termudanya

Dibawa ke balai peranginan dengan sepenuh cinta
Hal ini membuat Paduka Liku menitikkan air mata
Hatinya begitu terharu kepada sang baginda raja
Apalagi ketika sisiri rambutnya penuh kasih mesra

Baginda raja benar-benar menunjukkan cintanya
Kepada Paduka Liku dengan kesetiaan tiada tara
Paduka Liku hentikan sedu-sedannya lalu berkata:
“Duhai kanda junjungan hamba, benarkah kanda

Masih cinta pada hamba yang cuma orang desa?
Betulkah kakanda masih kasih kepada putri kita?”
Paduka Liku menguatkan pertanyaannya kepada
Suaminya yang masih membelai-belai rambutnya

Baginda raja menatap penuh kasih selir tertuanya
Seraya berkata: “Kenapa begitu pertanyaan dinda,
Jangan lagi dinda ragu-ragu, jiwa raga dan harta
yang kanda punya semua adindalah yang punya!”

Paduka liku masih ragu dengan kesetian suaminya
Maka ia pun bertanyalah lagi kepada baginda raja:
“Jika kanda tak cinta dengan adinda dan putri kita,
Katakan terus terang, dinda akan menyadarinya!”

Dan, adinda akan kembali pulang ke desa dinda
Bersama Galuh Ajeng putri kita, agar dinda berdua
tak tersiksa lagi di dalam keraton istana ini, kanda!”
Demikian kata Paduka Liku selir termuda baginda

“Tidak, dinda tidak boleh meninggalkan kakanda!”
Betapalah senangnya hati Paduka Liku selir tertua
Baginda raja, demi mendengar janji dan kata-kata
Yang ‘lah diucapkan sang baginda raja kepadanya

Maka tibalah saatnya bagi Paduka Liku selir baginda
Untuk, memfitnah, menjelek-jelekkan Candra Kirana
Dan, kepada semua orang istana yang dianggapnya
Jadi jurang penghalang dalam lakukan niat jahatnya

Ketika itu nampak gumpalan awan hitam di angkasa
Menghiasi langit akaca menutupi cahaya sang surya
Langit hitam pekat mendung menyelimuti mayapada
Fitnah keji Paduka Liku mulai gerogoti seluruh istana

—Slamet Priyadi 42—
Senin, 25 Febuari 2019 – 15:20 WIB

PUSTAKA :
S. Sastrawinata, “Panji Semirang”
Balai Pustaka 1986