Wayang Kulit Pandawa Lima |
KITA SEMUA WAYANG - denmaspriyadi.blogspot.com - Sabtu, 27 Desember 2014 - Di dalam
estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan
indah dan berhasil harus memenuhi enam (ṣaḍ) syarat, sekumpulan syarat yang
terdiri atas enam bagian atau perincian (angga), karena itu rumuan itu disebut Șaḍ-angga. Rumusan ini aslinya didapatkan dalam
pembicaraan mengenai seni lukis dari abad VII, tetapi secara umum dapat pula
dipakai untuk bentuk-bentuk kesenian yang lain.
Syarat-syarat
tersebut adalah:
1.
Rῡpabheda, artinya
pembedaan bentuk.
Maksudnya, bentuk-bentuk yang digambarkan harus
dapat segera dikenal oleh yang melihatnya.
Bunga harus segera dapat dikenali
sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebaggai orang laki, orang
perempuan sebagai orang perempuan, anak kecil sebagai anak kecil, dan
seterusnya. Pokoknya di sini diminta
ketrampilan si seniman menyatakan bentuk-bentuk tanpa meragukan.
2.
Sãdrśya, artinya
kesamaan dalam penglihatan.
Maksudnya,
bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang terkandung di
dalamnya. Misalnya sebuah pohon dengan
bunga-bunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah
digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini,
misalnya dengan menggambarkan batang-batangnya yang serba membulat kecembung-cembungan,
bunga-bunganya merekah dengan kelopak-kelopak yang tebal, buah-buahnya serba
membulat, seolah-olah semua itu diairi oleh air sari yang pada dasarnya adalah esensi dari kesuburan.
Demikian
juga misalnya sang Buddha Sãkyamuni digambarkan
dengan badan yang tegap dan kukuh karena tokoh ini melambangkangkan keteguhan
batin dan kekuatan ajaran sucinya. Kalau
kita terapkan pada wayang kulit, maka kita melihat bahwa sãdrśya ini terdapat
misalnya antara watak Janaka yang rendah hati dan selalku siaga dengan wujudnya
yang luruh tangguh itu; antara watak Kresna yang cerdik dan waspada dengan
wujudnya: leher condong dengan muka terangkat lurus ke depan; antara Durna yang licik dengan raut
mukanya yang serba berkerinyut, dan seterusnya.
Bahkan lebih terperinci lagi, keadaan-keadaan batin tertentu dari
beberapa tokoh utama wayang digambarkan dalam wujud –wujud dengan nuansa yang
berbeda-beda, yang disebut wanda.
Di sini kita lihat bahwa dalam wayang
prinsip sãdrśya diterapkan pada seperangkat tokoh cerita yang sekaligus adalah
tokoh-tokoh mitologis, yang masing-masing telah diberi penggambaran wataknyanya
yang khas, sehingga akhirnya kita mendapatkan suatu pematokan gaya berdasarkan
watak yang dikuatkan oleh tradisi.
Dengan adanya pengertian mengenai sãdrsya ini, yaitu kesejajaran wujud
dan ide, wujud dan watak, maka orang maka orang akan menertawakan dan masyakat menolak,
seandainya ada seniman yang mengadakan eksperimen misalnya dengan menggambarkan
Janaka dengan badan besar dan muka mendongak.
3.
Pramãna, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat.
Sebagai
konsekuensi sãdrśya maka tradisi
menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada
dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu, ide-ide yang tetap ini harus
diteguhkan dengan ukuran-ukuran yang tetap pula. Di sini proporsi menjadi sangat penting.
Perbandingan
antara besarnya Ṥyiwa dengan Pãrwãti
harus sesuai dengan kedudukannya sebagai dewa utama dengan istri yang merupakan
pesertanya tetapi juga sumber kekuatannya.
Perbandingan antara panjang muka dengan tinggi dada dan panjang kaki:
ukuran dan perbandingan ini diatur misalnya dengan tala (= jengkal) sebagai unit pengukur terbesar, yang masih
terperinci atas unit-unit yang kecil, seperti anggula yang panjangnya seperdua belas tala. Dewa-dewa utama diberi ukuran 10 tala 4 anggula, istri-istri mereka 10 tala,
asura, yaksa dan apsara 9 tala, dan seterusnya. Dalam penggambaran tokoh-tokoh itu
selanjutnya diperinci pula tinggi dahinya, panjang hidungnya, jarak antara
hidung dan dagu, tinggi leher, dada, perut dan seterusnya. Pendeknya, tradisi mengatur keseimbangan
bentuk dan ide ini dengan menetapkan harmoni ukuran-ukutannya.
Di samping berhubungan
dengan ukuran, prinsip pramãna juga
menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam penggambaran. Misalnya, mata yang berbentuk busur untuk
orang yang beryoga, mata seperti daun padma untuk orang yang ketakut-takutan,
mata seperti mata kelinci untuk orang yang marah dan sebagainya. Jadi, pada dasarnya pramãna adalah norma
mengenai pemakaian bentuk-bentuk dan ukuran-ukuran yang telah direka dengan
setepat-tepatnya.
Bagaimanakah
penerapan norma ini di dalam seni rupa wayang kulit? Kita lihat bahwa rekaan pola-pola ini pun
ada, malahan telah amat berkembang, sehingga kita dapatkan misalnya
bentuk-bentuk mata seperti gabahan,
kedelèn, telengan, dan sebagainya; bentuk-bentuk hidung walimiring, pangotan, bentulan, pelokan,
pelokan ageng, sumpel, brutu, cempaluk, térong glatik, térong kopèk; bentuk-bentuk
leher yang rebah, mayat, manglung, mapak, keker, dan ngadek; dan demikianlah seterusnya bagian tubuh yang lain seperti
dahi, pipi, gigi, pundak, lambung, perut, sikap tangan, rambut terurai,
sanggul, jenggot, dan bahkan tiap bagian pakaian dan perhiasan masing-masing
diperinci lagi. Maka watak dari suatu
tokoh itu akan dapat dikesankan melalui pilihan atas sekumpulan pola
seperti: mata gabahan, hidung walimiring, dahi
batukan, pipi memet, gigi retesan, leher rebah
atau manglung tergantung dari wandanya, pundak pajek, atau mlèrèt tergantung
dari wandanya, lambung nembat, perut ambangkèk sikap tangan nyempurit,
rambut lungsèn, gelung minangkara,sumping waderan, sengkang (subang) kinjeng
mas, kalung tanggalan gelang dapur gangsa, dodot (kain) bokongan bunder putran, sedang jarak
antara kedua kakinya masuk golongan ciut. Demikianlah watak-watak di dalam wayang
dibentuk dengan membuat komposisi dari perincian bagian-bagiannya, perincian
mana telah mewakili ide-ide tertentu.
Hubungan antara bentuk dan ide telah demikian rekat sehingga tak akan
kita jumpai misalnya penggambaran Karna yang tinggi hati itu dengan leher rebah
yang menyiratkan kerendahan hati.
4.
Warnikhabangga,
yaitu penguraian dan pembikinan warna.
Di dalam seni lukis dan juga dalam seni rupa wayang kulit, sudah tentu
warna mempunyai peranan yang penting.
Syarat ini adalah
meliputi pembuatan warna-warna dasar dan
penyediaan alat-alat lukis, pencampuran warna, dan pemakaian warna secara
tepat. Ini pun menjadi syarat penting
dalam seni rupa wayang, karena cara pembuatan, bahan-bahannya, maupun cara
melekatkannya akan mempunyai pengaruh besar
pada keawetan dan sinar dari warna-warna tersebut, sedang pemilihan dan
komposisinya harus pula dengan watak si tokoh, sehingga kesan keseluruhan
adalah suatu keserasian yang sesuai untuk tokoh yang bersangkutan. Termasuk ke dalam syarat ini adalah pengetahuan akan perlambangan warna.
Unsur-unsur
wadag dalam seni lukis adalah garis
dan warna, karena itu kedua-duanya harus diatur dengan setepat-tepatnya. Dalam hal ini tradisi menetapkan pramãna sebagai norma pengendali garis, warnikabhangga sebagai norma pengatur
warna.
5.
Bhãwa, bisa
diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih,
haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga si penikmat seni bisa diantar
melalui jalur yang tak meragukan ke ara perasaan yang dimaksudkan. Hasil seni ini misalnya, harus bisa
menimbulkan rasa sedih dengan sekuat-kuatnya.
Kalaupun ada rasa lain yang dapat menyertai dalam suatu adegan sandiwara
atau suatu karya seni rupa, misalnya rasa kepahlawanan menyertai rasa
kesedihan, tetapi kalau yang diberi tekanan kesedihannya, maka rasa yang lain
itu dalam pengungkapannya harus tetap berkedudukan sebagai rasa tambahan,jangan
sampai mengimbangi sehingga meragukan sifat rasa utamanya.
Dalam
estetika Hindu, bhãwa, yaitu suasana
atau juga emosi yang dibagi atas dua
macam: yang tetap atau bertahan (sthãyi-bhãwa) dan yang mudah berubah (wyabhicãri). Bhawa yang tetap ada 9, yaitu: 1) cinta, 2) tawa, 3) kesedihan, 4)
kemarahan, 5) semangat, 6) ketakutan, 7) kemuakan, 8) keheranan dan 9)
ketenangan, ketentraman batin. Adapun
bhãwa yang mudah berubah ada 33 macam, yang masing-masing bisa dikaitkan pada
salah satu bhãwa yang tetap. Demi hadirnya
keindahan dalam suatu karya seni yang bermutu, maka salah satu bhãwa yang tetap
harus selalu menonjol mengatasi bhãwa yang mudah berubah. Jika suatu karya melebih-lebihkan
pengungkapan wyabhicãri-bhãwa,maka
karya itu menjadi sentimental.
Terdapatkah
pengertian bhãwa ini dalam seni rupa
wayang kulit? Kiranya ada. Bukankah dalam penggambaran yang kuat dari si
tokoh wayang Yudistira kita melihat bhãwa
ketenangan, kelepasan, memancar daripadanya? Dan juga semangat dan kepercayaan diri
sendiri terlihat sebagai bhãwa Srikandi;
kegembiraan yang penuh humor dalam Petruk; kelicinan, akal dan egoisme dalam durna; nafsu dan
kebodohan dalam Pragalba, dan seterusnya?
Bhãwa ini bukanlah sesuatu
yang dengan sendirinya akan muncul asal aturan-aturan pramana dan warnibhangga
diikuti. Bhãwa ditentukan oleh penggarapan
dari aturan-aturan tersebut, jadi bergantung pada bakat dari masing-masing
seniman.
6.
Lãwanya, berarti keindahan, daya pesona. Seperti halnya dengan bhãwa, lãwanya ini pun
adalah suatu kualitas yang ditentukan oleh bakat dan bukan semata latihan
ketrampilan dari si seniman. Dengan
kehadiran lãwanya, suatu hasil seni
akan menimbulkan kesan yang mendalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi
batinnya. Seperti misalnya kalau orang
melihat patung Budha dari Sarnath (zaman
Gupta) yang dengan kesederhanaan komposisi tapi didampingi keluwesan
garis-garis dan pembidangannya, memancarkan keagungan, ketenteraman dan kekhidmatan.
Demikian
juga dalam seni rupa wayang kulit kita sering menjumpai karya yang memancarkan
pembawaan tertentu. Kita tahu, bahwa
dalam wayang kulit seluruh bagian dari si tokoh wayang telah mempunyai
perincian dengan penentuan pola-polanya, sehingga si seniman seolah-olah tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk kreatif.
Namun, bakat besar dari si seniman akan memunculkan bhãwa dan lãwanya dengan
merakit sejumlah pola yang telah ditentukan tadi menjadi satuan yang
mengagumkan, dan di bagian-bagian tertentu memberikan tekanan-tekanan efektif
dengan tatahantatahan yang lebih rumit atau sunggingan yang lebih
menyolok. Tokoh wayang yang dihasilkan
akan tetap konvensional karena mengikuti semua ketentuan yang ada, tapi ia akan
mempunyai pancaran keindahan yang khas.
Itulah yang dicita-citakan oleh syarat lãwanya.
Demikianlah
perumusan tentang syarat-syarat keindahan dalam kesenian Hindu. Sesuaikah ini semua untuk menilai kesenian –
terutama yang tradisional – kita, kami silahkan masing-masing pembaca untuk
mengkajinya. (Prof. Dr. Edi Sedyawati, Pertumbuhan
Seni Pertunjukan, hal. 14–18 Penerbit Sinar Harapan, cetakan kedua, Tahun 2000
Jumat,
26 Desember 2014 – 17:05 wib
Slamet
Priyadi di Pangarakan, Bogor