Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Sabtu, 06 Desember 2014 - 23:38 wib
Lenong Betawi |
Untuk
menjawab pertanyaan judul artikel di atas tentu membutuhkan referensi yang
adekuat tentang pengertian seni tradisi itu sendiri. Menurut
prof. Dr. Edi Sedyawati dalam
bukunya, “Pertumbuhan Seni Pertunjukan”
halaman 119-121 menyatakan bahwa,
pengertian seni tradisi berkait dengan pertanyaan seperti di atas bisa bermakna ganda. Artinya dapat
dilihat dari dua arah yang berbeda.
Pertama,
seni tradisi bisa dimaknakan sebagai kesenian yang diselenggarakan
demi kelangsungan suatu tradisi dalam arti suatu satuan adat-istiadat. Dalam
arti tradisi itu sendiri yang menjadi inti pokoknya, sedang kesenian hanya
sebagai alat atau sarana penunjang yang menjadi penguat tradisi. Jadi, seni
untuk tradisi.
Kedua,
seni tradisi bermakna bentuk-bentuk kesenian yang memiliki tradisi
dalam arti norma dan aturan-aturan penataan yang telah menetap. Kesenian itu
sendirilah yang menjadi pokok. Seni tradisi berarti: seni yang memiliki tradisi.
Dengan cara melihat dari arah yang kedua ini kesenian dipandang sebagai
kegiatan mandiri, yang punya kepentingan-kepentingannya sendiri.
Kedua arah
pandang ini berpengaruh pula terhadap
arah pandang kita terhadap seni tradisi selanjutnya. misalnya, jika kita
melihat seni tradisi sebagai seni yang dibina demi kelestarian tradisi, maka
kita bisa melihat bahwa tujuan utamanya adalah untuk menciptakan dan mendorong
rasa kebersamaan antara warga suatu masyarakat.
Sedangkan jika kita melihat seni tradisi sebagai kesenian yang memiliki
sejumlah norma yang menetap, maka kita bisa melihat bahwa tujuannya adalah
untuk pengembangan rasa keindahan dengan meramu teknik lewat jalur tertentu
yang dianggap efektif.
Begitu juga
dalam penikmatan seni tradisi, orang akan menikmati dan menghayati lebih awal
peristiwanya, menikmati sajian seni sebagai bentuk dan ekspresi seni
bersangkutan. kecenderungan pertama
terjadi jika orang melihat seni tradisi
sebagai sarana penguat tradisi, sedang
kecenderunan kedua terjadi jika orang melihat dari sudut kemandirian
seni.
Kita sering
melihat, mengalami, dan menikmati secara langsung suatu peristiwa adat. Di sana
bisa kita rasakan keasyikkan, suatu kehangatan tertentu, dan suatu keterwadahan baik diri kita sendiri maupun
orang lain. Dalam peristiwa adat tersebut semua orang seakan sudah diberikan
peran sehingga segala yang dilakukan menjadi mantap dan memiliki arti yang
jelas. Dari peristiwa-peristiwa adat yang menggunakan kesenian, nampak bahwa
kriteria teknik yang dipersyaratkan untuk penyajian kesenian itu tidaklah
sama. Ada kritia teknik yang menuntut
perhatian khusus sang seniman, ada pula kriteria teknik yang hampir tidak ada
sehingga siapa saja melakukannya.
Terkadan kriteria teknik yang minim itu diganti oleh kriteria lain yang
non-seni, seperti kemampuan untuk menjadi medium.
Jika
kriteria meningkat apakah dengan demikkian kesenian tradisi itu akan mendorong
ke arah harkatnya sebagai wilayah kegiatan yang mandiri? Mungkin saja jawaban atas pertanyaan ini
harus berbeda-beda untuk setiap kasus.
Tetapi yang jelas adalah bahwa dalam hal ini fungsi seni yang telah
terkembang itu bisa menjadi ganda: ia
menjadi sarana peningkatan nilai keindahan di samping tetap menjadi sarana
pengaruh tradisi. Bisa juga ia menjadi
lepas dari adat-istiadat.
Seni tradisi
yang secara teknis sudah jauh mengalami perkembangan, akan cenderung selalu
kembali kepada bentuk-bentuk tertentu, dan ini yang memberi tanda pada bentuk
gaya. Bentuk-bentuk tertentu telah
bertaut akrab dengan nilai-nilai keindahan tertentu, dan tidak jarang pula
mengandung muatan lambang-lambang. Seni
tradisi memberi kesan ‘selalu berulang’.
Akan tetapi ternyata bahwa inovasi dalam penggarapan selalu terjadi
dengan kadar yang bertingkat-tingkat.
Sesudah
mengkaji apa seni tradisi itu, maka kita kembali pada pertanyaan judul tulisan di awal: “Seni Tradisi Haruskah Putar
Kemudi?”. Pertanyaan pokoknya adalah haruskah seni tradisi diputar haluannya?
Pertanyaan ini bisa dijabarkan atas dua seginya: a). Apakah tradisi adat istiadat masih sesuai
dengan pandangan hidup kita kini; b). Apakah adanya patokan-patokan dan
kebiasaan-kebiasan yang mapan dalam kesenian itu sesuai dengan hakikat seni.
Banyak orang berpendapat bahwa kemodernan ditandai oleh penolakan terhadap itu
semua: adat-istadat itu menghambat dan kesenian itu pada hakikatnya bebas; dan
kita harus berubah dari tradisional menjadi modern. Tetapi banyak pula orang berpendapat bahwa
segala karya kebudayaan kita, khususnya kesenian, harus ‘berakar’. Pandangan pertama membawa pada suasana
kegelisahan, sedangkan pandangan kedua membawa kepada rasa aman. Keduanya mempunyai segi baik dan buruknya.
Maka kebanyakan yang ditempuh adalah suatu jalan tengah: seni tradisi diolah
senantiasa sesuai dengan citarasa yang telah terbentuk, tetapi dilepaskan dari
kaitannya dengan segala tahyul dan tabu.
Maka, jika
kita setuju pada jalan tengah ini, itu artinya gambaran awal mengenai seni
tradisi yang telah diurai seperti tersebut di atas mesti sedikit diubah,
pengertiannya sedikit digeser.
Pergeseran ini adalah: adat-istiadat tidak perlu lagi menjadi
satu-satunya panglima yang menentukan kembang-kempisnya kesenian; dan
penciptaan serta pembukaan segala kemungkinan menggarap didudukkan sebagai
mekanisme inti di dalam lingkungan bahan yang mengandung keajegan-keajegan dalam cita rasa dan nilai-nilai keinbdahan.
Pada jalur
pengembangan melalui jalan tengah ini, atau yang mana pun, tujuan seni tak akan
berubah. Ia menghibur dan menjanjikan
kepuasan, dan merangsang, bertingkat-tingkat dari badan, emosi, lalu ke jiwa.
Referensi:
Edi
Sedyawati 1981, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Pustaka Sinar Harapan
Slamet
Priyadi
Pangarakan,
Bogor
Sabtu,
06 Desember 2014-10:39 wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar