Sabtu, 18
April 2015 - SIAPA yang
tak kenal dengan sosok Kartini? Seorang tokoh pejuang pergerakan wanita yang
begitu gigih dalam memperjuangkan hak kaum perempuan untuk memiliki hak yang
sama dengan kaum lelaki. Ya, Kartini tercatat dalam sejarah sebagai pejuang
emansipasi wanita, pelopor kebangkitan kaum perempuan dari Jawa. Lahir di Kota
Jepara pada tanggal 21 April 1879 dari seorang ibu bernama M.A Ngasirah anak
dari Nyai Hajah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di
Telukawur. Ayahnya seorang bangsawan Jawa, bernama Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, bupati Jepara putera dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang
diangkat menjadi Bupati dalam usia 25 tahun. Dari sebelas bersaudara kandung
dan tiri, Kartini merupakan anak ke-5 dan tertua dari saudara perempuan
sekandungnya yang lain bernama, Kardinah dan Roekmini. Kakak laki-lakinya
bernama Sosrokartono adalah seorang yang pintar dan menguasai berbagai macam
bahasa terutama bahasa Belanda. Ia banyak belajar bahasa Belanda dari kakaknya
itu, dan mendapat izin untuk memperdalam bahasa Belanda di “ELS” (EuropeseLagere
School) hingga usia 12 tahun sampai akhirnya dipingit karena akan dikawinkan
olehK.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang.
Penguasaan
dan kepandaian Kartini dalam berbahasa Belanda, digunakannya untuk menulis
surat kepada salah satu teman akrabnya, Rosa Abendanon yang berasal dari Negeri
Belanda. yang banyak mengindor atau mendukung pemikiran, ide dan
gagasan-gagasannya. Kegemarannya membaca, baik dari koran, majalah dan
buku-buku Eropa, menambah wawasan pemikiran Kartini yang semakin luas. Inilah
yang menambah semangat dan membangkitkan motivasi Kartini mewujudkan
cita-citanya memajukan derajat kaum perempuan pribumi yang masih rendah status
sosialnya dengan membangun sekolah pendidikan keputrian. Gagasan
Kartini itu mendapat dukungan dari residen Semarang, Mr. Stijthof setelah
membaca keritikan dari Conrad van De Venter lewat tulisan-tulisannya di majalah
De Gid yang menjelaskan bahwa, “orang Belanda sangat berhutang budi pada
rakyat Hindia Belanda yang telah memberikan devisa Negara yang begitu besar
kepada Belanda. Dan, pemerintah colonial harus mengembalikan hutang sebesar 187
juta Gulden melalui proyek-proyek kemanusiaan, salah satunya adalah pendidikan”.
”.)*Sri Hartatik, A.Ma.Pd. “Kumpulan Kisah Pahlawan Indonesia”hal. 66
Dalam masa
pingitannya Kartini terus memikirkan, bagaimana caranya agar Ia bisa
melanjutkan pendidikannya ke Batavia atau ke Eropa. Cita-cita Kartini
yang paling luhur adalah berkeinginan besar untuk menjadi guru sebagaimana
ucapannya,
“Saya ingin dididik menjadi guru. Ingin mencapai dua
ijazah, yaitu ijazah guru sekolah rendah dan ijazah guru kepala. Mengikuti
kursus pelatihan kesehatan, ilmu balut-membalut, pemeliharaan dan perawatan
orang sakit, memperdalam seni kerajinan danketerampilan serta ilmu pengetahuan
yang lain”.)*ibid hal.
65
Dalam
pandangan dan pemikiran Kartini, apabila kaum perempuan telah memiliki
kecerdasan dan pengetahuan yang luas, jika kaum perempuan telah memiliki
sejumlah keterampilan sebagaimana yang dimiliki oleh kebanyakan kaum lelaki,
maka akan datang masanya kaum perempuan tak lagi terikat melulu bergantung
kepada kaum lelaki. Kartini menyatakan,
“Dari kaum
perempuanlah seorang manusia pertama-tama menerima pendidikan dan pembelajaran,
mulai belar merasa, berpikir dan belajar berkata-kata”. Kartini menegaskan pula dalam satu surat yang
ditulisnya, “Bagaimana ibu-ibu Bumi putera dapat mendidik anak-anaknya jika
mereka sendiri tidak berpendidikan? Dapatkah mereka, kaum ibu, dipersalahkan
yang karena ketidaktahuannya, karena kelemahan dan karena kebodohannya yang
tidak disadarinya itu hingga merusak masa depan anak-anaknya”.)* ibid.
hal. 65
Belenggu
tradisi adat yang telah mengikat dan berakar kuat bagi kebebasan seorang wanita
di masa itu membuat keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah keputrian dan
melanjutkan pendidikannya ke Eropa gagal. Akan tetapi Kartini terus mencari
akal untuk bisa melanjutkan sekolahnya itu. Ayahnya tak bisa berbuat banyak
untuk menentang tradisi. Meskipun Ia sangat mendukung cita-cita Kartini
putrinya itu untuk mendirikan sekolah keputrian bagi
kaum perempuan Bumi putera. Agar apa yang menjadi harapan Kartini dapat
terkabul, ayahnya yang pada waktu itu menjabat sebagai bupati Jepara, Raden Mas
Adipati Ario Sosrodiningrat memilih dan meyakinkan Kartini bahwa calon suami
yang cocok dan tepat untuk Kartini sesuai dengan harapan dan cita-citanya
mendirikan sekolah keputrian bagi perempuan Bumiputera dan melanjutkan
pendidikannya di Eropa, adalah Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat, Bupati
Rembang. Karena berdasar kesepakatan dengannya, Bupati Rembang itu akan selalu mendukung
dengan apa yang menjadi cita-cita Kartini. Dan, Kartini meskipun hati nuraninya
menolak, akan tetapi demi kepentingan yang lebih besar, demi kemajuan kaum
wanita, pada akhirnya menyetujui juga dengan jodoh pilihan orang tuanya
dikawinkan dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat
yang sudah pernah memiliki istri tiga orang itu. Ya, Kartini merelakan jiwa dan
raganya untuk menikah dengan orang yang sudah beristri demi cita-citanya
memajukan derajat kaum perempuan seperti dirinya. Jelang
perkawinannya, Kartini sangat merasakan dengan suatu hal yang tak bisa dirubah.
Sahabat karibnya, Stella Zeehandelaar tidak bisa memahami keputusan Kartini
untuk menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri lebih dari satu itu.
Akan tetapi Kartini sudah mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan calon
suaminya itu. Ia tidak akan menggunakan bahasa kromo inggil pada suaminya
seperti pada kebiasaan tradisi yang dilakukan seorang istri pada suaminya di
zaman itu. Kartini tidak akan membasuh kaki sang suami pada saat upacara
perkawinannya kelak. Diizinkan untuk membangun sekolah keputrian untuk kemajuan
bangsanya, kaum wanita.
Pelaksanaan
upacara pernikahan Kartini dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat
pada tanggal 12 November 1903. Suaminya ternyata sangat mengerti dengan
keinginan Kartini. Bahkan Kartini diberi kebebasan dan mendapat dukungan
sepenuhnya untuk mendirikan bangunan sekolah keputrian yang berlokasi di
sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Sekarang
bangunan tersebut digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Di sekolah
yang didirikannya ini Kartini mengekspresikan segala ide dan gagasan-gagasannya
dengan leluasa karena sangat didukung oleh suaminya yang memiliki kedudukan cukup
tinggi sebagai Bupati di Rembang. Di sekolah keputrian ini Kartini mengajarkan
berbagai seni kerajinan dan keterampilan, kesehatan dan perawatan di samping
ilmu pengetahuan yang lain.
Ternyata Kartini
selain dikenal dalam sejarah sebagai pejuang emansipasi wanita, Ia dikenal juga
sebagai seorang seniwati. Pelopor dalam bidang disain modern, perancang seni
ukir dan batik. Salah satu upaya Kartini untuk mengembangkan, merealisasikan
ide dan gagasannya di sekolah kepandaian putri yang didirikannya itu dengan
mengajarkan sendiri kepada murid-muridnya berbagai pengetahuan dan keterampilan
terutama kerajinan ukiran dan ragam hias batik. Kemahiran dan kecakapan Kartini
dalam seni ukir, seni batik dan menggambar inilah yang memotivasi Kartini untuk
selalu kreatif. Mencari inovasi-inovasi baru dalam bidang seni rupa dan disain.
Dalam karya-karyanya Kartini selalu berupaya memasukkan konsep-konsep keindahan
dan nilai-nilai tradisi Jawa, meskipun sudah mengalami pembaharuan-pembaharuan
sehingga bentuknya menjadi lebih modern. Pembaharuan ini bisa dilihat dari
beberapa karya-karya Kartini seperti yang terdapat pada kotak perhiasan,
pigura, kursi rotan, dan batik. Ada salah satu batik motip bunga karya R.A. Kartini
yang sampai sekarang masih sangat digemari masyarakat, bahkan menjadi motif
standar dijadikan acuan dasar pembuatan seni ukir kayu Jepara yaitu motip
"LunglunganBunga". Bahkan hingga kini motip lunglungan bunga menjadi
ciri khas motip "Jepara Asli".
Dari
perkawinannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat, Kartini
dikaruniai seorang putera, Anaknya yang pertama dan sekaligus juga yang
terakhir yang diberi nama, Soesalit Djojoadhiningrat yang dilahirkan pada
tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 17 September
1904, Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia relative muda 25
tahun. Jenazah R.A. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat
kegigihan Kartini memperjuangkan derajat kaum wanita agar memiliki
persamaan hak dalam pendidikan, Yayasan Kartini yang didirikan oleh
keluarga “Van Deventer” seorang aktifis politik etis(balas budi) di Semarang
pada 1912, mendirikan sekolah Kartini di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun,
Cirebon dan daerah lainnya dengan nama "Sekolah Kartini".
Begitu pula
seorang komponis, pahlawan nasional W.R. Soepratman pencipta lagu Indonesia
Raya, menciptakan sebuah lagu khusus untuk mengenang jasa R.A. Kartini dalam
memperjuangkan emansipasi wanita yang tak kenal lelah bahkan merelakan jiwa
raganya untuk kemajuan kaum perempuan melalui pendikan, diberi judul “R.A.
Ajeng Kartini”.
Referensi:
*Sri
Hartatik, A.Ma,Pd “Kumpulan Kisah Pahlawan Indonesia”. Bintang Indonesia
*Slamet
Priyadi, Drs. “R.A. Kartini Juga Seorang Seni Wati” Forum Guru Seni
Budaya
*Agus
Sachari, “Seni Rupa dan Disain” Erlangga
*Wikipedia
Bahasa Indonesia, “R.A. Kartini”. google.com
Penulis:
Slamet
Priyadi Pangarakan - Bogor