Sita Rose |
GURU SMAN 42 JAKARTA MENULIS - Kamis, 02 Juli 2015 - Dikisahkan, suatu ketika Syeh
‘Abdullah Turugbadi dari kota Thus berkumpul bersama murid-muridnya sambil
makan roti yang sudah disediakan di atas meja.
Berkatalah Syeh Turugbadi kepada murid-muridnya:
“Wahai, murid-muridku! Sebentar lagi kita akan kedatangan seorang tamu
yang patut kita hormati, dia adalah sahabat lamaku bernama Mansyur al-Hallaj
dari kota Qasymir. Sambutlah dia, dan hormati sebagaimana mestinya, jangan
lihat dan bertanya dengan apa yang dibawa dan dilakukannya di sini, karena dia
akan melakukan hal-hal besar terkait dengan pelajaran yang akan kalian dapatkan
nanti yang mungkin saja itu tidak kau mengerti dan fahami sebelumnya!”
Selang bebera lama kemudian,
tibalah Syeh Mansyur al-Hallaj yang pada saat itu menggunakan pakaian qaba’
hitam dengan membawa dua ekor anjing hitam yang dirantai di kedua
lehernya. Sementara Syeh ‘Abdullah
Turugbadi menyuruh murid-muridnya untuk menyambut Syeh Mansyur al-Hallaj
sahabatnya itu:
“Nah, murid-muridku itulah dia, orang yang kita tunggu-tunggu! Bangkit
dan sambutlah dia dan ingat pula dengan kata-kata pesanku kepada kalian semua,
tadi!”
“Baik, guru!”
Demikian Syeh Turugbadi berkata
kepada murid-muridnya yang segera ke luar dari ruangan menghampiri menyambut
Syeh Mansyur al-Hallaj, dan mengantarnya masuk menuju ruangan tempat gurunya
yang memang sudah menantinya sejak tadi. Murid-murid Syeh ‘Abdullah Turugbadi merasa heran juga dan
bertanya-tanya dalam hati dengan apa yang dibawa oleh sahabat gurunya itu, dua
ekor anjing hitam yang menurut ajaran fiqih Syafi’i yang dianutnya, khewan
anjing dianggap najis dan haram. Akan
tetapi mereka semua tak mau bertanya-tanya lagi dan pertanyaan itu hanya
disimpannya saja di dalam hati karena sebelumnya mereka memang sudah diberi
tahu oleh gurunya tentang Syeh Mansyur al-Hallaj sahabat gurunya itu.
Syeh Turugbadi pun menyambut
sahabatnya itu dengan memeluknya erat-erat tanda rasa persahabatan yang penuh keakraban
dan ketulusan. lalu dia mempersilahkan sahabatnya itu untuk duduk di bangku
yang telah disediakan, sementara murid-muridnya duduk bersila di atas permadani
di ruang tamu yang sekali gus juga menjadi ruang tempat belajar murid-muridnya.
“Sahabatku, silahkan masuk dan duduklah di sini, aku sudah lama menanti
kehadiranmu untuk memberikan sedikit pelajaran Islam kepada murid-muridku
terkait dengan sifat-sifat kebanyakan manusia yang selalu saja bersikap curiga,
penuh syak wasyangka dan sering menilai dan melihat orang lain dari luarnya dan
segi buruknya saja!”
“Yakh, begitulah memang sifat kebanyakan manusia, sahabatku Syeh
Turugbadi. Kebanyakan mereka justru hanya mampu melakukan perbuatan saleh
secara ritual vertikal saja, manakala menerapkannya secara horisontal kepada
sesama, kepada setiap orang, kepada semua binatang, dan alam lingkungan,
acapkali mereka justru menjadi alpa dan lupa. Sebagai contoh kecil, tidak menjawab salam
dari orang yang mengucapkan salam kepadanya, memalingkan muka, membusungkan
dada saat bertemu dengan teman di tengah jalan, merasa paling pintar, merasa
paling benar dan merasa lebih kaya dan dari orang lain, dan lain sebagainya.”
Demikian kata-kata yang
diucapkan Syeh Mansyur al- Hallaj kepada Syeh Abdullah Turugbadi sambil
memanggil kedua ekor anjingnya untuk duduk di sampingnya lalu kedua anjingnya
itu diberinya masing-masing sepotong roti yang ada di atas meja. Perbuatan ini
tentu saja sangat mengejutkan murid-murid Syeh Turugbadi kecuali Syeh Turugbadi
sendiri yang memang sudah mengenal lebih dekat keyakinan Syeh Abdullah
al-Hallaj tentang anjing. Demi melihat
keterkejutan dan perasaan tidak senang dari murid-murid Syeh Turugbadi dengan
apa yang dilakukannya maka dia pun melanjutkan kata-katanya kepada Syeh
Tugbadi:
“Wahai sahabatku Syeh Turugbadi, aku merasa murid-muridmu tidak suka
dengan apa yang aku lakukan, membawa kedua anjing hitam peliharaan dekat denganku
di sini dan memberinya roti yang telah kau hidangkan kepadaku. Aku harap nanti
kau bisa menjelaskannya kepada mereka semua karena yang aku lakukan pasti kau
sudah memahaminya, dan sekarang aku mohon diri untuk kembali ke Qasmir. Aku mengucapkan banyak-banyak terimakasih
atas segala kebaikanmu kepadaku, dan maafkan atas segala tindakanku yang mungkin
tidak berkenan di tempatmu ini, sekarang aku mohon diri, assalamu’alaikum!”
Mendengar perkataan Syeh Manyur
al-Hallaj, Syeh Abdullah Turugbadi hanya tersenyum, setelah membalas salam, ia
mendekati Syeh Mansyur dan memeluknya sambil berkata:
“Baiklah sahabatku, kau jangan khawatir dan aku akan menyampaikan pesan
pelajaran darimu tadi kepada murid-muridku, maafkanlah atas sikap mereka yang
kurang berkenan kepadamu, sesungguhnya itu dilakukan karena mereka belum
mengerti dan memahami makna religi di balik sikap dan perbuatanmu, selamat
jalan sahabatku, assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam!”
Setelah membalas salam, Syeh Abdullah
Turugbadi, Syeh Mansyur al-Hallaj pun keluar meninggalkan ruangan tempat
tinggal sahabatnya. Sementara Syeh
Abdullah Turugbadi bersama muridnya mengantarnya sampai di depan pintu.
Selang beberapa menit kemudian
Syeh Abdullah Turugbadi bersama murid-muridnya kembali ke dalam ruangan tempat
mereka berkumpul. Murid-murid Syeh yang
masuk lebih dulu masuk ke ruangan segera duduk bersila di atas permadani,
sedang Syeh Abdullah yang masuk kemudian langsung menuju bangkunya. Sejenak kemudian ia berkata kepada
murid-muridnya:
“Murid-muridku, sesungguhnya
tadi kalian telah mendapat pelajaran agama dari sahabatku Syeh Mansyur
al-Hallaj terkait ajaran islam yaitu, prilaku saleh secara horisontal, apakah
kalian bisa memahaminya dengan makna religi yang terkandung dalam sikap dan
tindakan yang telah dilakukan sahabatku, Syeh Mansyur al-Hallaj?”
Mendengar pertanyaan seperti
itu murid-murid Syeh Turugbadi, yang memang sebelumnya tidak mengerti menjadi
tambah tidak mengerti lagi, mereka semua hanya diam seribu basa meski di dalam
hatinya banyak pertanyaan yang ingin dikemukan kepada gurunya. Dalam situasi yang hening itu salah seorang
murid tertua bernama Khasan mengajukan pertanyaan kepada gurunya:
“Guru, mohon maaf sebelumnya, kami kira semua murid-muridmu ini tidak
mengerti, masih belum bisa memahami, dan tidak bisa menerima tindakan Syeh
Mansyur al-Hallaj yang membawa dua ekor anjing hitam ke dalam ruang belajar
ini, apalagi memberi makan kedua anjing peliharaannya itu dengan roti yang kita
hidangkan kepadanya. Bukankah menurut
faham yang kita anut anjing adalah binatang yang najis dan diharamkan, mengapa
guru mengundang orang semacam itu ke mari? Orang yang sudah jelas-jelas tidak
menghormati kita dan membuat makanan kita menjadi najis dan tidak suci lagi
untuk dimakan, dan terus terang kami, terutama aku, masih belum mengetahui
makna religi yang terkandung di dalam sikap Syeh Mansyur al-Hallaj itu, dan
belum bisa menerima atas semua tindakan yang dilakukannya di sini yang
menurutku adalah tindakan yang tidak patut untuk dicontoh?” Mendengar penuturan dari rekannya, Khasan
yang dianggapnya ada benarnya, semua murid-murid Syeh Abdullah serentak
berseru:
“Betul, betul, guru! Benar, memang benar sekali apa yang dikatakan
Khasan itu, benar Guru!” Demi
mendengar reaksi yang cukup keras dari semua murid-muridnya dengan tindakan
yang dilakukan sahabatnya, Syeh Abdullah Turugbadi menanggapinya dengan tenang:
“Baiklah murid-muridku, aku akan menjawab dan menjelaskannya secara
rinci kepada kalian semua, dan sekarang mohon kalian semua mendengarkan dan
memperhatikannya dengan baik. Jika masih
ada yang belum jelas dengan penjelasanku, kalian boleh mendiskusikanya lagi,
aku akan selalu terbuka untuk itu, apakah kalian sudah siap untuk mendengarkan
penjelasanku!”
“Siap guru, kami semua sudah siap untuk mendengar dan memperhatikan
wejangan guru!”
“Baik, sekarang aku akan menjelaskannya kepada kalian semua!
Sebagaimana yang telah aku sampaikan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya bahwa
di dalam pokok-pokok ajaran Islam yang sudah kita ketahui bersama bahwa dengan
syariatnya, Islam mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, yang kita sebut
hubungan secara vertikal, dan Islam juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan alam lingkungannya seperti
lingkungan di sekitarnya baik kepada hewan, kepada tumbuh-tumbuhan dan
sebagainya yang kita sebut hubungan secara horisontal, dan kesemuanya itu
terkeristalisasi dalam prinsip ajaran Islam yaitu, yang pertama adalah Iman, hubungan kepercayaan secara batiniah. Kedua Islam,
yaitu amal perbuatan shaleh, dan yang ketiga adalah Ihsan, yaitu akhlaqul karimah.
Dan perlu kalian ingat bahwa ketiga prinsip ajaran Islam itu harus terwujud dan
terejawantah dalam sikap perbuatan dan prilaku kita sehari-hari di dalam
kehidupan ini murid-muridku.” Syeh Abdullah Turugbadi menghentikan
wejangannya, lalu menolehkan kepala ke arah murid-muridnya yang nampak masih
antusias memperhatikan dan mendengarkan wejangannya. Setelah menarik nafas
dalam-dalam, ia melanjutkan wejangannya kembali.
“Nah, murid-muridku! Terkait dengan tindakan, sikap dan perilaku Syeh
Mansyur al-Hallaj yang sudah kalian saksikan dan alami sendiri seharusnya
kalian bisa mengkaitkannya dengan ketiga prinsip ajaran Islam tadi yaitu Iman,
Islam, dan Ihsan. Menurutku apa yang
dilakukan Syeh Mansyur al-Hallaj dengan memberi makanan roti kepada kedua
anjingnya itu termasuk perbuatan saleh secara horisontal yang mengasihi sesama
mahkluk hidup kepada manusia, hewan, dan lingkungan alam sebagaimana yang
termaktub dalam prinsip ajaran Islam yang pokok tadi, Iman, Islam dan Ihsan!” Kembali
Syeh Abdullah Turugbadi menghentikan wejangannya untuk bernafas sejenak. Sambil mengangkat tangan kirinya dan
menunjukkan satu jari telunjuk ke arah murid-muridnya ia melanjutkan
wejangannya:
“Murid-muridku, yang lebih
teramat penting dan pokok lagi ialah bahwa makna religi yang terkandung dalam
sikap Syeh Mansyur al-Hallaj adalah bahwa kedua anjing berwarna hitam yang
dirantai dan dibawanya serta itu sesungguhnya simbol atau lambang nafsu-nafsu
yang bersemayam bersembunyi dalam diri kita yang teramat sukar dikendalikan
bahkan mungkin dilenyapkan. Dan, Syeh Mansyur al-Hallaj adalah orang sudah
mampu mengendalikan itu dengan merantai dan mengendalikan anjing-anjing
peliharaannya yang merupakan lambang nafsu-nafsu yang ada dalam dirinya yaitu
nafsu lawwamah, nafsu sufiyah, dan nafsu amarah sebagai mana hal tersebut sudah
aku sampaikan pada pelajaran sebelumnya.
Sekarang bagaimana dengan kalian sendiri? Apakah kalian sudah mampu dan bisa
mengendalikan dan melenyapkan nafsu-nafsu tersebut? Aku melihatnya justru
nafsu-nafsu tersebut masih tersembunyi, masih melekat kuat dan kalian
sepertinya masih belum mampu mengendalikan, mengeluarkannya apalagi untuk
melenyapkan nafsu-nafsu tersebut dari dalam diri kalian. Nah, aku sebagai gurumu sungguh tak
membutuhkan jawaban dari kalian untuk
pertanyaan-pertanyaan ini dari kalian, dan kalian bisa merenungkannya
sendiri!”
Pustaka:
—Drs. H. Effendi Zarkasi, “Unsur Islam Dalam
Pewayangan”
Penerbit
Alfa Daya Jakarta 1981
—Jamaluddin Kafie, “Tuntunan Pelaksanaan Rukun Iman
Islam dan Ihsan”
Penerbit
Al-Ikhlas-Surabaya 1981
—YB. Prabaswara, “Syeh Siti Jenar Cikal Bakal Faham
Kejawen”
Penerbit
Armedia Jakarta
Rabu, 01
Juli 2015 – 08:20 WIB
Sita Rose
Di Bumi
Pangarakan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar