Blog Ki Slamet : Sang Guru SMAN 42 Menulis
Sabtu, 11 Juni 2016 - 13:13 WIB
|
Prof. Dr. Wiyoso Yudoseputro |
Latar belakang
Seni kaligrafi Arab yang disebut juga seni khath merupakan salah satu karya seni
rupa yang tidak kalah pentingnya dari jenis seni rupa Islam lainnya. Sebagai
seni tulis dengan tuntutan keindahan, seni khath
telah menempuh sejarahnya yang panjang dan mencapai puncak-puncak
perkembangannya sesuai dengan peerkembangan dari aksara Arab dan peranan
kebudayaan di tiap negara Islam.
Watak khas dari seni khath ialah bahwa kehadirannya merupakan
gubahan kata-kata dari aksara dalam disain tertentu. Demikian dalam kaligrafi
Arab, kata-kata disusun menjadi kalimat yang bersumber pada ayat-ayat dari
Al-Qur’an atau Hadith. Berbagai pola susunan kalimat bermakna dipadukan dengan
berbagai motif geometris dan motif tumbuh-tumbuhan menjadi ornamen tertentu.
Perpaduan berbagai motif itu menghasilkan disain ornamental sebagai karya seni
dekorasi Islam yang terdapat di hampir seluruh negara Islam di dunia. Disain
ornamental ini sifatnya selalu terukur dan kaya dengan berbagai ubahan
penampilan.
Ada ciri lain yang dapat ditunjuk pada karya seni khath yang timbul dari aksara Arab itu
sendiri. Aksara Arab merupakan jenis tulisan yang elastis, tampil dengan bentuk
keindahan yang sensitif. Seperti seperti dalam kaligrafi Cina, seorang
kaligrafi dalam seni khath memiliki
gaya sensitivitas yang tinggi di samping kepandaian teknik menulis. Maka nilai
pribadi seniman tampak pada setiap jenis karya seni khath yang menjadi sumber pertumbuhan dari gaya dalam kaligrafi
Arab.
Pada abad ke 14 tercatat beberapa gaya kaligrafiArab
sesuai dengan aksara Arab yan tercipta di tiap daerah, seperti gaya Bagdad,
Farisi, Andausi dan Istambul. Gaya daerah dalam kaligrafi Arab ini juga
disebabkankarena adanya pemantapan bentuk dari aksara di tiap daerah. Jenis
karya Kufah misalnya adalah hasil
perkembangan aksara Arab (gbr.52). dari tulisan Suryani yang berbeda dengan
jenis aksara Nasch yang berasal dari
tulisan Natbhi (gbr.51). jenis-jenis aksara Arab ini berkembang terus sampai
meliputi jumlah kurang lebih 20 macam aksara.
Ada pula gaya kaligrafi Arab yang ditimbulkan oleh
bahan dan teknik penulisan. Tulisan kaligrafi pada bahan kulit binatang atau
logam menghasilkan corak tulisan yang berbeda dengan tulisan pada bahan tanah liat
atau batu marmer. Juga dengan tulisan dari lidi bambu, bulu angsa atau pena
logam dapat dihasilkan corak dan gaya tulisan tertentu.
|
Kaligrafi Arab bergaya Kufah |
|
Kaligrafi Arab bergaya Nasach |
Dibandingkan dengan negara-negara Islam, seni khath di Indonesia tidak begitu tampil
menonjol sebagai karya seni rupa. Hal ini disebabkan karena penerapan kaligrafi
Arab sebagai hiasan sangat terbatas. Bangunan-bangunan tertua pada zaman
permulaan kerajaan Islam tidak memberi peluang yang berarti bagi penerapan
hiasan kaligrafi Arab. Masjid-masjid lama seperti di Banten, Cirebon, Demak dan
Kudus menerapkan kaligrafi Arab hanya sebagai pelengkap motif hias yang
bersumber pada tradisi seni hias Indonesia-Hindu.
Dibandingkan dengan negara-negara Islam lain, seni khath di Indonesia tidaka begitu tampil
menonjol sebagai karya seni rupa. Hal ini disebabkan karena penerapan kaligrafi
Arab sebagai hiasan sangat terbatas. Bangunan-bangunan tertua pada zaman
permulaan kerajaan Islam tidak memberi peluang yang berarti bagi penerapan
hiasan kaligrafi Arab. Masjid-masjid lama seperti di Banten, Cirebon, Demak dan
Kudus menerapkan kaligrafi Arab hanya sebagai pelengkap motif hias yang
bersumber pada tradisi seni hias Indonesia-Hindu.
Memang jika dibandingkan dengan hiasan masjid di
negara-negara Islam lainnya pada waktu yang sama, peranan seni kaligrafi Arab
pada arsitektur di Indoneesia tidak seberapa. Masjid lama Indonesia dengan
konstruksi bangunan kayu memang tidak memberi peluang hadirnya hiasan kaligrafi
Arab yang kaya. Jarang pula penerangan kaligrafi Arab pada benda upacara dan
prabt kraton. Di sana-sini memang ada tanda-tanda hiasan kaligrafi Arab seperti
misalnya pada hiasan mimbar masjid dan pada batu nisan makam.
Kurangnya peranan kaligrafi Arab dalam seni dekoratif
Islam Di Indonesia disebabkan juga karena ketidakmandirian kaligrafi sebagai
cabang seni rupa. Kebiasaan menulis indah yang dapat memungkinkan perkembangan
seni kaligrafi, kebiasaan ini tidak terdapat dalam kebudayaan Islam-purba di
Indonesia. Bangsa yang telah mengenal tulisan sejak sebelum zaman Islam tidak
cukup mendapat rangsangan untuk menekuni kaligrafi Arab. Tulisan pada bilah
kayu, tembaga dan pada daun lontar dari masa pra Islam tidak berkembang menjadi
tulisan kaligrafi yang indah.
Kehadiran kaligrafi Arab yang kadang-kadang disatukan
dengan aksara Jawa dalam bentuk candra sangkala hanyalah berfungsi sebagai
tanda peringatan berdirinya masjid seperti yang terdapat pada Masjid Mantingan,
Masjid Sumenep, dan Masjid Sendangduwur.
Penerapan Kaligrafi Arab
Dengan uraian di atas jelas bahwa tugas seni kaligrafi
Arab pada masa Islam-Purba ialah tugas dekoratif. Dalam tugas dekoratif ini
kaligrafi Arab dipadukan dengan motif-motif hias tradisional. Ini berarti bahwa
kehadiran motif kaligrafi Arab tidak terlepas dari pesan-pesan perlambangan
seperti yang sering dituntut dalam seni hias tradisional pra Islam. Jadi,
hiasan kaligrafi Arab dalam kesenian Islam-purba di Indonesia tidak berdiri
sendiri, baik dilihat dari fungsi perlambangan maupun fungsi estetikanya.
Fungsi
perlambangan
Kaligrafi Jawa yang tampak pada candra sangkala adalah contoh fungsi perlambangan dari sebuah
kaligrafi. Dalam kebudayaan Jawa-Hindu terdapat kebiasaan untuk mengungkapkan
perasaan dan pikiran dalam bentuk perlambangan . pernyataan perlambangan ini
dapat ditampilkan dalam berbagai bentuk seperti kata-kata dan gambar hiasan
yang mengandung petuah, ajaran dan petunjuk.
Telah disinggung tentang candra sangkala yang tampil
sebagai gambar perlambanganyang berarti kiasan dalam bentuk rangkaian kata-kata
untuk menyatakan tahun. Perhitungan tahun berdasarkan peredaran bulan berasal
dari Arab yang diterapkan sejak Mataram yang mendasari perhitungan tahun dalam
candra sangkala yang berbeda 78 tahun dengan tahun Masehi. Kebudayaan
Jawa-Hindu yang melahirkan candra
sangkala berwujud kata-kata dan kalimat dalam perkembangannya mencapai
hiasan bergambar yang disebut sangkala memet.
Kain panjang berbentuk panji dan kraton berisi
unsur-unsur perlambangan yang tersusun baik dalam kata-kata dan kalimat dari
petuah ajaran agama Islam maupun gambar-gambar bentuk stilasi pedang, singa dan
bentuk ilmu ukur. Gambaran kaligrafi semacam itu sering diketemukan sebagai
perbendaharaan kraton yang mempunyai nilai perlambangan. Alam pikiran kosmis
magis yang berpengaruh terus sampai pada zaman Islam, dalam manifestasinya
antara lain dalam bentuk gambar tulisan batik kaligrafi. Garapan aksara secara
artistikk memang tidak ditampilkan sebagai unsur keindahan. Sebagian besar dari
karya kaligrafi Arab di In donesia memang lebih mementingkan nilai kegunaannya
sebagai kaligrafi terapan. Dengan kata lain seni khath di Indoneia tidak ditujukan untuk mengembangkan nilai
keindahan tulisan Arab itu sendiri sebagai karya seni tulis. Itulah sebabnya
mengapa kaligrafi Arab di Indonesia lebih banyak tampil sebagai motif hias dan
tanda kiasan atau perlambangan.
Lukisan kaca dan pahatan kaligrafi Arab yang disebut Macan Ali permasalahannya juga sama dengan
lukisan Singa pada batik kaligrafi dari panji kraton tersebut. Di sini sosok
binatang macan atau singa sebagai perwujudan lambang lebih diutamakan. Aksara Arab
karenanya hanya berfungsi untuk mengisi bidang sosok binatang. Terasa bahwa
penggarapan aksara Arab harus menyesuaikan dengan bidang lukisan yang tersedia.
|
Lukisan kaca "Macan Ali" dari kraton lama Cirebon |
enampilan kaligrafi seperti tersebut di atas juga
tampak pada kaligrafi Arab berbentuk wayang seperti tokoh panakawan, ksatria,
raksasa dan dewa atau tanda perlambangan kerajaan. Maka aksara Arab dan
kata-kata yang dipakai dalam lukisan kaligrafi ini harus ikut mendukung nilai
perlambangannya. Pada karya kaligrafi Arab tidak tampak upaya untuk membuat
lukisan indah. Hal ini bisa dimengerti karena para pembuat kaligrafi lebih
terikat pada bentuk perlambangan yang sudah dibakukan daripada mencipta lukisan
baru dengan memanfaatkan aksara Arab yang indah. Jelas bahwa kaligrafi Arab
berfungsi sebagai media pembentuk perlambangan yang telah tersedia dan
dirumuskan arti perlambangannya.
Fungsi
dekoratif
Adanya bermacam-macam corak dan gaya aksara Arab tidak
hanya menjelaskan adanya kemampuan teknis menulis yang berbeda, tetapi juga
menampilkan keindahan yang sensitif dari aksara Arab itu sendiri. Hakikat keindahan
dari aksara Arab itu dirasakan oleh para seniman kaligrafi Arab sebagai
kemungkinan untuk menggarab sebagai media hiasan. Di negara-nedara Islam
seperti Mesir,Parsi dan Turki dalam sejarah perkembangan seni rupanya telah
dihasilkan benda-benda kerajinan dari berbagai bahan yang memperlihatkan hiasan
kaligrafi Arab yang sangat menarik.
|
Kaligrafi Arab pada hiasan belanga dari Parsi |
Sesuai dengan bahan yang dipakai maka dalam mencipta
hiasan tersebut para seniman dituntut untuk mengenal bermacam-macam teknik
berbeda dengan membuat hiasan sama pada jambangan atau lampu dari porselin. Di sini
terasa bahwa kaligrafi Arab di negara-negara tersebut turut menaikkan mutu seni
kerajinannya. Selain itu keberhasilan menghias ialah karena mampu
memanipulasikan keindahan aksara Arab. Di samping benda-benda kerajinan
tersebut, kaligrafi Arab juga diterapkan pada hiasan alat-alat perang seperti
pedang, perisai, tombak, topi baja dan sebagainya. Di Indonesia hiasan semacam
inijuga tampak pada keris atau tombak yang telah dibahas pada seni kerajinan
logam.
|
Kaligrafi Arab pada hiasan bidang bilah keris dari Jawa |
Keindahan kaligrafi Arab lebih banyak berbicara pada
hiasan arsitektur. Kemegahan masjid-masjid besar di negara-negara Islam tidak
hanya terletak pada konsep disain arsitekturnya, tetapi juga pada nilai
dekoratifnya.
Bidang-bidang rata dan lengkung, vertikal dan
horisontal dari tiap bagian bangunan masjid dengan ukuran yang berbeda-beda,
tersedia untuk penerapan hiasan kaligrafi Arab. Ayat-ayat suci dari Al-Qur’an
dipilih pada bidang-bidang dari bangunan masjid dan makam, terutama makam-makan
tertua yang ditemukan di beberapa tempat baik yang berasal dari Gujarat maupun
yang asli dari Indonesia. Untuk membaca kalimat-kalimat kaligrafi yang tergurat
pada makam Gujarat dibutuhkan ketelitian karena susunan kalimat biasanya
disesuaikan dengan bentuk bidang, semacam susunan secara sinopsis. Di samping
ayat-ayat suci Al-Qur’an atau pujian kepada Allah dan Nabi Muhammada saw. Atau bagian
dari kalimat Syahadat, kaligrafi Arab muncul dalam bentuk syair indah seperti
yang terpahat pada makam Sultan Malik as Saleh atau pada makam-makam di Aceh
Utara yang membuat syair bahasa Melayu kuno.
Pada hiasan bidang batu nisan dari makam Maulana Malik
Ibrahim tampak tradisi seni khath yang
berasal dari Gujarat yang lebih menekankan kepada keindahan aksara Arab dengan
gaya paduan dari Nasadi dan Kufah. Pembagian bidang hiasan sesuai dengan bidang
dari batu marmer, memberikan tempat untuk kalimat-kalimat ayat suci dengan
memperhitungkan kesatuan komposisi yang sangat teratur dan apik
|
Kaligrafi Arab pada hiasan bidang batu nisan makam lama Banda Aceh |
Tidak ada batasan yang jelas tentang penerapan
kaligrafi Arab sebagai hiasan pada makam-makam kuno di Indonesia. Di antara
makam-makam kuno di Troloyo dekat Mojokerto ada yang memperlihatka hiasan kaligrafi Jawa-kuno yang diperkirakan
sudah ddirikan pada zaman Hindu. Ada juga hiasan kaligrafi Arab dengan gaya
Kufah yang terdapat pada makam kuno dari Leran Kabupaten Gresik. Teknik pahatan
dari makam-makam ini jika dibsndingkan dengan pahatan kali grafi pada makam
gaya Gujarat kurang halus dan kurang teliti pengerjaannya. Kehalusan teknik
memahat kaligrafi juga tampak pada hiasan kaligrafi Arab pada nisan makam dari
Banda Aceh. Pada pahatan ini tradisi seni pahat Indonesia-Hindu tidak kentara
jika dibanding dengan pahatan kaligrafi pada nisan makam di Troloyo
|
Kaligrafi Jawa Kuno pada hiasan batu nisan makam lama Troloyo Mojokerto |
Dalam hubungannya dengan bangunan masjid kuno di
Indonesia, kaligrafi Arab lebih berfungsi sebagai tanda didirikannya dalam
bentuk candra sangjala, baik yang
menggunakan aksara Jawa-Kuno maupun aksara Arab. Kaligrafi Arab yang diterbkan
pada bangunan masjid sebagai media hiasan hampir tidak dikenal pada zaman
Islam-purba. Tidak seperti pada masjid-masjid di luar Indonesia yang hampir
semua perbidangan dalam ruang interior memperlihatkan hiasan kaligrafi yang
kaya dengan berbagai teknik menghias seperti mozaik, lukisan, ukiran dan
tempelan. Ciri khas ornamentik Islam hasil dan penggabungan motif geometris dan
kaligrafi Arab juga tidak tampak pada masjid-masjid tertua di Indonesia. Tradisi
menghias masjid dengan teknik membentuk relief yang bersumber pada seni tradisi
seni Jawa-Hindu berpengaruh pula pada penerapan kaligrafi Arab yang disesuaikan
dengan bentuk keruwal dari motif tumbuh-tumbuhan. Hiasan Kaligrafi ini pun
hadir pada tempat-tempat tertentu sekedar untuk mengisi kekosongan bidang.
Dengan keterangan singkat di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa kaligrafi Arab sebagai ragam hias Islam kurang memegang
peranan dalam menghias masjid-masjid kuno di Indonesia. Peranan itu baru terasa
setelah ada perkembangan baru dari bangunan masjid agak mutakhir, yaitu ketika
pengaruh dari arsitektur Islam dari luar makin terasa di Indonesia.
Sumber:
Wiyoso Yudoseputro
Pengantar Seni Rupa Islam Di Indonesia
Angkasa – Bandung 2000
Bumi Pangarakan, Bogor
sabtu, 11 Juni 2016 – 12:38 WIB