Blog Ki Slamet 42: Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Sabtu, 14 September 2019 - 20.15 WIB
Sabtu, 14 September 2019 - 20.15 WIB
GERAKAN 30 SEPTEMBER
PKI
PEMBERONTAKAN PARTAI
KOMUNIS INDONESIA
(Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya)
BAB I.
UMUM
Dalam minggu pertama bulan Oktober 1965
rakyat Indonesia dikejutkan oleh serangkaian berita Radio Republik Indonesia
(RRI) Jakarta tentang terjadinya pergolakan pada tingkat tertinggi pemerintahan
di Ibukota Jakarta.
Pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965
secara berturut-turut RRI Jakarta menyiarkan empat berita penting.
Siaran pertama, sekitar pukul 07.00 pagi,
memuat berita bahwa pada hari Kamis tanggal 30 September 1965di Ibukota
Republik Indonesia, Jakarta, telah terjadi “gerakan militer dalam Angkatan
Darat” yang dinamakan “Gerakan 30 September”, dikepalai oleh Letnan Kolonel
Untung, Komandan Batalion Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden
Soekarno. Sejumlah besar Jendral telah ditangkap, alat-alat komunikasi yang
penting-penting serta objek-objek vital lainnya sudah dikuasai Gerakan tersebut
dan “Presiden Soekarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September”. Gerkan
tersebut “ditujukan kepada Jendral-Jendral anggota apa yang menamakan dirinya
Dewan Jendral”. “Komandan Gerakan 30 September” itu menerangkan bahwa akan
dibentuk “Dewan Revolusi Indonesia” di tingkat Pusat yang diikuti oleh “Dewan
Revolusi Propinsi”, “Dewan Revolusi Kbupaten”, “Dewan Revolusi Kecamatan” dan
“Dewan Revolusi Desa”.
Siaran kedua, sekitar pukul 13.00 hari itu
juga memberitakan “Dekrit No. 1” tentang “Susunan Dewan Revolusi Indonesia”.
Baru dalam siaran kedua ini diumumkan susunan “Komando Gerakan 30 September”,
yaitu Letnan Kolonel Untung sebagai “Komandan”, Brigjen Supardjo, Letnan
Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas
sebagai “Wakil Komandan”.
Siaran kedua ini memuat dua keanehan. Dari
sudut organisasi militer, adalah aneh bahwa seorang Brigadir Jendral menjadi
Wakil dari seorang Letnan Kolonel. Selain itu, “Gerakan 30 September” ini
ternyata juga bukanlah sekedar gerakan militer dalam Angkatan Darat”, oleh
karena dalam “Dekrit No.1” tersebut diumumkan bahwa: “Untuk sementara waktu,
menjelang pemilihan umum Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 45, Dewan Revolusi Indonesia” menjadi sumber daripada
segala kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia.
Siaran ketiga, pada pukul 19.00 hari itu juga,
Radio Republik Indonesia Jakarta menyiarkan pidato radio Panglima Komando
cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) , Mayor Jendral Soeharto, yang menyampaikan bahwa “Gerakan 30
September” tersebut adalah golongan kontra revolusioner, yang telah menculik
beberapa perwira tinggi Angkatan Darat, dan telah mengambil alih kekuasaan
negara, atau coup, dari PYM Presiden/ Panglima Tertinggi Abri/Pemimpin Besar
Revolusi dan melempar Kabinet Dwikora
kekedudukan demisiones. Perwira-perwira tinggi Angkatan Darat yang telah
diculik adalah: Letnan Jendral A. Yani, Mayor Jendral Soeprapto, Mayor Jendral
S. Parman, Mayor Jendral Haryono M.T., Brigadir Jendral D.I. Pandjaitan, dan
Brigadir Soetoyo Siswomihardjo. Sesuai dengan prosedur tetap Angkatan Darat,
Mayor Jendral Soeharto mengumumkan bahwa untuk sementara pimpinan Angkatan
Darat dipegang oleh beliau.
Kemudian pada tengah malam tanggal 1 Oktober
1965 itu juga, menjelang tanggal 2 Oktober, RRI menyiarkan Pengumuman
Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Soekarno bahwa beliau
dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang pimpinan negara dan revolusia.
Selanjutnya pada tanggal 3 Oktober 1965,
pukul 01.30, RRI Jakarta menyiarkan pidato Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno, yang selain menegaskan kembali bahwa beliau berada
dalam keadaan sehat walafiat dan tetap memegang tampuk pimpinan Negara serta
tammpuk pimpinan Pemerintahan dan Revolusi Indonesia. Beliau mengumumkan bahwa
tanggal 2 Oktober beliau telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata
bersama Wakil Perdana Menteri Kedua, Dr. Leimena, dan pejabat penting lainnya.
Pimpinan Angkatan Darat langsung berada dalam tangan beliau, dan tugas
sehari-hari dijalankan oleh Mayor Jendral Pranoto Reksosamodra, Asisten III
Men/PANGAD, Panglima Kostrad, ditunjuk untuk melaksanakan pemulihan keamanan
dan ketertiban.
Sesuai dengan pidato Presiden tersebut di
atas, pada tanggal 3 Oktober 1965 itu juga Panglima Kostrad Mayor Jendral
Soeharto mengumumkan bahwa mulai saat itu Pimpinan Angkatan Darat
dipeganglangsung oleh PYM Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Beliau sendiri
masih diberi tugas untuk mengembalikan keamanan sebagai sediakala.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 pukul 20.00 RRI
Jakarta menyiarkan rekaman pidato Mayor Jendral Soeharto setelah menyaksikan
pembongkaran tujuh jenazah jendral dan satu jenazah perwira pertama yang
diculik “Gerakan 30 September” pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah
tersebut diketemukan dalam keadaan rusak di dalam sebuah sumur tua di desa Lobang
Buaya, dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Daerah itu digunakan
sebagai lokasi latihan Sukarelawan dan Sukarelawati yang berasal dari Pemuda
Rakyat(PR) dan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) oleh oknum-oknum Angkatan
Udara. Kedua organisasi ini, PR dan Gerwani, adalah “organisasi mantel” Partai
Komunis Indonesia (PKI). Tujuh perwira yang ditangkap oleh oknum-oknum
Cakrabirawa di kediamannya masing-masing, dibawa ke lokasi latiha PR Dan
Gerwani tersebut untuk disiksa dan dibunuh. Gerakan 30 September ternyata ke
luar merupakan aksi Cakrabirawa, ke dalam merupakan aksi PR dan Gerwani.
Pada tanggal 4 Oktober 1965 itulah diketahui
untuk pertama kalinya kejelasan mengenai “Geraka 30 September” tersebut.
gerakan itu ternyata terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang sejak
tahun 1951 membangun kembali kekuatannya setelah terlibat dalam pemberontakan
terhadap Republik Indonesia dalam bulan September 1948 di kota Madiun, Jawa
Timur.
Rangkaian Sidah Makamah Militer Kuar Biasa
(Mahmilub) untuk mengadili mereka yang terlibat dalam kudeta tersebut telah
mengungkapkan lebih dalam lagi keterlibatan PKI. Partai ini terbukti merupakan dalang dan pelaku dari aksi subversi
sejak tahun 1954, yang berpuncak pada kudeta berdarah pada awal bulan Oktober
1965 tersebut. oleh karena itu “Gerakan 30 September” tersebut disebut secara
lengkap sebagai “Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia”, atau disingkat
“G30S/PKI”.
Pengungkapan perana PKI dalam sidang
mahkamah tersebut telah menimbulkan reaksi hebat dalam masyarakat Indonesia,
yang berujung dengan ditetapkannya Ketetapan Majeis Permuyawaratan Rakyat
Sementara No. TAP-XXV/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah
Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, dan Larangan Setiap
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninisme.
Pelaksanaan Ketetapan Permusyawaratan Rakyat
Sementara tersebut mengandung implikasi adanya kewajiban idiologis untuk
memurnikan Pancasila, yang sejak tahun 1959 telah disalahtafsirkan sebagai
gabungan dari paham Nasionlisme, Agama dan Komunis (“Nasakom”). Tugas pemurnian
ini baru seesai dalam tahun 1978, dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat No. TAP-II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (“Eka Prasetia Pancakarsa”). Dalam tahun ini pula
dimulailah rangkaian penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
tersebut, bermula dari Pegawai Negeri disusul oleh pimpinan organisasi sosial
politik dan organisasi masyarakat,
diikuti oleh pelajar dan mahasiswa.
Dengan pertimbangan bahwa ajaran yang
bersumber dari paham Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah merupakan ancaman
laten terhada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, dan bahwa
oleh karena kegiatan mempelajari ancaman paham Komunisme/Marxisme-Leninisme
secara ilmiah dalam rangka mengamankan Pancasila harus dilakukan secara
terpimpin di bawah kendali Pemerintah, maka dengan Instruksi Presiden No. 10
Tahun 1982 telah diinstruksikan kepada Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk menyelenggarakan Penataran Kewaspadaan
Nasional untuk Eselon I pada departemen-departemen dan instansi-instansi
pemerintahan lainnya. Penataraan Kewaspadaan Nasional ini kemudian diluaskan
kepada lapisan lainnya dalam masyarakat, baik secara khusus maupun sebagai
bagian dari penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Buku Putih ini memuat fakta dan analisis
secara komprehansif dan integral mengenai latar belakang aksi dan penumpasan
G30S/PKI, baik untuk digunakan dalam masyarakat sebagai referensi dalam
penataran kewaspadaan nasional, maupun sebagai publikasi resmi Pemerintah
Republik Indonesia Indonesia untuk masyarakat umum mengenai gerakan tersebut.
Latar belakang G30S/PKI perlu ditelusuri
sejak masuknya paham Komunisme/Marxisme-Leninisme ke Indonesia awal abad ke-20,
penyusupannya ke dalam organisasi lain, serta kaitannya dengan gerakan komunisme
internasional. Dalam hal-hal yang mendasar dari politik PKI di Indonnesia
terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari pimpinan gerakan komunisme
internasional itu.
Ditinjau dari keseluruhan latar belakang
ini, aksi G30S/PKI dapat dibagi dalam tiga babak, yaitu babak pertama aksi
subversi untuk menyusup ke dalam kalangan lain dan untuk merusak kesetiaan
rakyat terhadap Pemerintah yang berlangsung dari tahun 1954 sampai dengan tahun
1965, babak kedua upaya percobaan kudeta, perebutan kekuasaan pemerintah, dari
bulan Juli – Oktober 1965, dan babak ketiga pemberontakan bersenjata melawan
Pemerintah Republik Indonesia yang sah dari tahun 1966 sampai tahun 1968.
Penumpasan G30S/PKI mencakup penumpasannya
secara fisik dengan menghancurkan pimpinan, organisasi, dan gerakan
bersenjatanya; penumpasannya secara konstitusional dengan melarang paham
Marxisme/Leninisme-Komunisme; dan penumpasan secara ideologis dengan mengadakan
penataran Kewaspadaan Nasional.
S u m b e r :
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan
30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya
—KSP42—
Kamis, 12 September 2019 – 05.50 WIB
Bumi Pangarakan, Lido - Bogor
BAB II
TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA
PARTAI KOMUNIS DI
INDONESIA
A.
PERIODE
SEBELUM TAHUN 1945
1.
Indische
Sociaal Democratische Vereniging sebagai
Embrio dari Partai Komunis Indonesia
Pada tahun 1913,
menjelang Perang Dunia I, seorang aktivis politik yang berhaluan Marxis
berkebangsaan Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet tiba di Hindia Belanda dari
negeri Belanda. Ia sebelumnya adalah pemimpin organisasi buruh angkutan dan
anggota Sociaal Democratische Arbeiders
Partij (SDAP) di Negeri Belanda. Sesampainya di Indonesia, mula-mula ia
bekerja sebagai anggota Staf Redaksi Warta Perdagangan Soerabajasche Handelblad, sebuah surat kabar milik sindikat
perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Kemudian ia bekerja sebagai
sekretaris pada Semarangsche Haandels
Vereniging, menggantikan pejabat lama D.M.G. Koch. Pada saat itu di
semarang telah terdapat organisasi buruh kereta api, vereniging van Spooren Tramsweg Personeel (VSTP).
Di kemudian hari Sneevliet
berhasil menanamkan pengaruhnya ke dalam organisasi VSTP tersebut dan membawa
VSTP ke arah aktivitas-aktivitas yang radikal, atau setidak-tidaknya menjadikan
VSTP sebagai media penyebarluasan Marxisme di Hindia Belanda, antara lain
melalui surat kaba VSTP, Devolharding
(keyakinan). Selanjutnya, Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang
Belanda yang berhaluan sosialis yang ada di Hindia Belanda, dan pada tahun 1914
bersama J.A. Brandssteder, H.W. Dekker, dan P. Bergsma mendirikan organisasi
Marxis yang pertama di Asia Tenggara, dengan sebutan Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV). Setahun kemudian,
mereka menerbitkan majalah Het Vrije
Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai media propaganda Marxisme.
Selain majalah Het Vrije Woord, ISDV
juga menerbitkan surat kabar Soeara
Mardika dan kemudian Soeara Rakjat.
Tulisan-tulisan yang
menyebarluaskan Marxisme, baik melalui media surat kabar ISDV maupun
kegiatan-kegiatan lainnya pada saat itu belum begitu mendapat perhatian dari
Pemerintah Hindia Belanda karena belum merupakan ancaman terhadap kelangsungan
pemerintahannya. Pemerintah Hindia Belanda menilai bahwa tulisan-tulisan
tersebut akibat dari mulai tumbuhnya ajaran Marxisme di Eropa. Di samping itu,
kemungkinan ISDV dapat memperluas pengaruhnya di wilayah jajahan sangat
diragukan mengingat adanya hambatan agama, bahasa, ras, dan suku yang
berbeda-beda.
2.
Infiltrasi
Komunis ke dalam Sarekat Islam, melalui Taktik Keanggotaan Rangkap
Sejak kebangkitan
nasional tahun 1908, Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Sarekat
Islam (SI) merupakan salah satu organisasi yang berkembang pesat di Indonesia.
Sneevliet sendiri sangat menyadari adanya hambatan bagi ISDV untuk menanamkan
ajaran Marxisme di Hindia Belanda. Untuk dapat melaksanakan upaya tersebut,
Sneevliet memanfaatkan organisasi SI. Caranya adalah dengan memasukkan anggota
ISDV menjadi anggota SI, dan sebaliknya anggota SI dibolehkan menjadi ISDV atau
dengan sistem “keanggotaan rangkap”. Dengan sistem keanggotaan rangkap inilah,
ISDV menyebarkan pengaruhnya ke dalam organisasi SI. Pada tahun 1917 Sneevliet
dan kawan-kawannya telah mempunyai
pengaruh yang kuat di kalangan anggota SI. Mereka berhasil membawa
beberapa tokoh muda SI menjadi anggota ISDV, di antaranya Semaoen yang pada tahun
1917 menjadi salah seorang pimpinan SI Cabang Semarang dan Darsono seorang
wartawan yang menjadi anggota AI. Keduanya dinilai sebagai seorang muda yang
berdedikasi dan berambisi di bidang politik. Dengan memasuki ISDV sekaligus
juga sebagai anggota SI, kedua orang ini menjadi penyebar Maxisme ke kalangan
masyarakat Indonesia.
Pada tahun 1917
golongan kolonialis melaksanakan revolisi Rusia. Peristiwa ini kemudian
dimanfaatkan secara maksimal oleh Sneevliet yang dengan terang-terangan
menyerukan agar penganut Marxisme di Indonesia mengikuti Rusi. Selain menyusupi
SI, ISDV secara rahasia juga mengadakan penyusupan ke semua lapisan masyarakat
Indonesia, termasuk pergerakan kaum buruh, bahkan di kalangan tentara Belanda.
Aktivis ISDV yang juga menamakan dirinya kaum merah, memperalat serdadu-serdadu
dan pelaut-pelaut untuk berdemonstrasi melawan polisi. Demikian juga surat
kabar ISDV membuat hasutan-hasutan, agar dikobarkan pemberontakan dan
dikibarkan bendera merah. ISDV mendorong pula tokoh-tokoh nasionalis dan
organisasi, seperti Boedi Oetomo,
Insulinde, dan SI untuk menuntut Pemerintah Hindia Belanda menggantikan Volksraad dengan parlemen Rakyat. Hal
ini membuat Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil tindakan tegas dengan
jalan mengusir Sneevliet dari Hindia Belanda pada tahun 1918, kemudian menyusul
Brandsteder pada tahun 1919, Baars pada tahun 1921, dan sisa-sisa kelompok
radikal pada tahun 1923.
3.
Munculnya
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda sebagai Bagian dari Jaringan Komunis
Internasional
Ketika Sneevliet dan
Brandsteder diusir dari Hindia Beanda, Semaoen dan Darsono yang telah menjadi kader komunis hasil pembinaan
Sneevliet muncul sebagai pimpinan ISDV. Ketika SDAP di Negeri Belanda pada
tahun 1918 memaklumkan perubahan partainya menjadi Partai Komunis Belanda,
beberapa anggota ISDP mengusulkan untuk mengikuti langkah SDAP itu. Adapun
perubahan SDAP menjadi Partai Komunis Belanda itu sangat erat kaitannya dengan
keberhasilan Renovolusi Bolsjewik di Rusia tanggal 1 Oktober 1917. Revolusi tersebut
telah memberikan angin segar kepada penganut Marxisme di seluruh dunia yang
menyerukan agar keberhasilan revolusi di Rusia diikuti dengan revolusi dunia.
Lenin
menggariskan bahwa untuk tercapainya revolusi dunia hendaknya didirikan partai
komunis di tiap negara. Sebagai tanggapan atas penggarisan Lenin tersebut,
dalam Kongres ISDV VII pada tanggal 23 Mei 1920 di kantor SI di Semarang
diusulkan oleh Baars agar ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia
Belanda sebagai bagian dari jaringan Komunis Internasional (Komintern). Dengan
melalui perdebatan yang sengit dalam Kongres ISDV tersebut, akhirnya diadakan
pemungutan suara yang hasilnya 33 suara setuju, 2 suara mebolak, dan 1 suara
blangko. Dalam kongres tersebut disusunlah pengurus Perserikatan Komunis Hindia
Belanda dengan Ketua Semaoen, Wakil Ketua, Darsono; Sekretaris, P. Bergsma;
Bendahara, H.W. Dekker; dan Urusan Keanggotaan, Baars. Perubahan ISDV menjadi
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda ini dikomentari oleh Baars bahwa “hanya
dengan diktator proletariat, satu-satunya cara untuk membangun masyarakat
sosialis”.
Dalam Kongres II
Komintern bulan Juli – Agustus 1920 di Petrograd dan Moskow, Sneevliet – yang
setelah diusir dari Hindia Belanda dan tinggal di Cina – hadir sebagai wakil
dari Perserikatan Komunis di Hindia Belanda menggunakan nama samaran Maring,
walaupun di saat itu Perserikatan Komunis di Hindia Belanda belum resmi menjadi
anggota komintern. Dalam kongres tersebut Sneevliet alias Maring berusaha
meyakinkan Komintern agar Perserikatan Komunis di Hindia Belanda disetujui
tetap bekerja sama dengan SI sebagai taktik untuk memenangkan kom unis. Pada
dasarnya Komunis menentang gerakan Pan-Islamisme
karena dianggap sebagai gerakan borjuis-nasional yang menentang Marxisme di
seluruh dunia. Namun, kongres kemudian dapat menyetujui Perserikatan Komunis di
Hindia Belanda untuk tetap bekerja sama dengan pihak mana pun dalam setiap
lingkungan masyarakat sebagai taktik untuk mencapai tujuan.
Persetujuan kongres
tersebut digunakan oleh Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk bekerja
sama dengan organisasi-organisasi lain dan mengizinkan juga anggota-anggota
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda untuk duduk dalam Volksraad. Namun, Keputusan Kongres II Komintren yang tetap
menentang Pan-Islamisme, telah
menimbulkan kesulitan bagi Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dalam
hubungannya dengan SI karena kelompok yang anti komunis dalam SI menuduh bahwa
keputusan tersebut berarti memusuhi Islam secara keseluruhan.
Pada bulan Desember
1920 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda dengan suara mutlak menerima 21
syarat Komintern untuk menjadi anggota, yang isinya, antara lain :
a.
Pengakuan secara konsisten terhadap
dikttor proletariat dengan perjuangan untuk mengamankan dan mempertahankannya.
b.
Pemutusan kerja sama secara
menyeluruh dengan kaum reformis dan centris serta penyingkiran mereka dari
partai.
c.
Melaksanakan perjuangan dengan metode
kombinasi legal dan ilegal.
d.
Bekerja secara sistematis di dalam
negara, militer, organisasi buruh reformis, dan parlemen borjuis.
e.
Setiap partai anggota Komintren
adalah partai komunis dan dibentuk atas prinsip sentralisme demokrasi.
f.
Semua keputusan dari Kongres
Komintren da Executive Committee of
Communist International (ECCI), yang merupakan komite pelaksana Keputusan
Kongres Komintern, akan mengikat terhadap semua partai yang berafiliasi dengan
Komintern.
g.
Komintren dan ECCI juga terikat untuk
mempertimbangkan adanya perbedaan kondisi dari setiap partai yang berbeda
tempat bekerja dan berjuangnya dan secara umumm resolusi yang diajukan mengenai
suatu masalah hanya akan diterima apabila resolusi itu memungkinkan.
Pertentangan di
dalam tubuh SI mencapai puncaknya pada Kongres Nasional VI SI bulan Oktober
1921 di Surabaya. Fraksi Komunis yang dipimpin oleh Semaoen dan Tan Malaka
(seorang ahli agitasi propaganda komunis) berusaha mengendalikan dan menguasai
jalannya kongres, tetapi usaha mereka ini ditentang oleh salah seorang tokoh
SI, yaitu H. Agus Salim (orang yang berpandangan modern dan pembela disiplin
organisasi).
H. Agu Salim
menjawab semua argumen Semaoen dan Tan Malaka dengan mengatakan, ‘Nabi Muhammad SAW sudah mengajarkan
sosialisme sejak seribu ratus tahun sebelum Karl Marx’. Selain itu, ia
mengajukan resolusi kepada Kongres untuk melarang setiap anggota SI menjadi
anggota partai lain, dan supaya kaum komunis yang menjadi anggota SI
mengundurkan diri.
Sejak itu muncullah
sebutan SI Merah bagi anggota-anggota SI yang beraliran Marxis dan SI
Putimuncul secara terbukah bagi anggota SI yang menentang Marxisme. Inilah
untuk pertama kalinya kekuatan Islam menentang komunisme secara terbuka di
Indonesia. Dalam langkah selanjutnya golongan komunis dalam SI selalu
membayangi saingannya. Tan Malaka menyebut peristiwa itu sebagai suatu “krisis
besar dalam tubuh SI yang menguntungkan komunis”. Kepada Komintren pada tahun
1923 Tan Malaka melaporkan bahwa Perserikatan Komunis di Hindia Belanda telah
menguasai lebih dari 20 seksi dalam SI dan dinyatakannya bahwa dari 100.000
anggota SI, 30.000 di antaranya adalah anggota komunis aktif. Perpecahan di
dalam tubuh SI ini tampaknya sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Bahkan, pada
bulan Maret 1923, dalam Kongres II Perserikatan Komunis di Hindia Belanda
diputuskan untuk bersaing melawan SI sebagai organisasi politik yang haluannya
berbeda. Sebagai konsekuesinya SI Merah mengubah namanya menjadi Sarekat Rakyat
dan menyatakan dirinya sebagai suatu organisasi radikal nasional baru. Selain
itu, juga dipandang perlu untuk melebarkan aktivitasnya sampai ke luar Jawa
dengan membuka cabang di Padang dan
Makasar.
Pertumbuhan dan
aktivitas Perserikatan Komunis di Hindia Belanda yang smakin radikal – terutama
dari kelompok pimpinan Alimin dan Muso – dalam menjalankan garis partai dari
Moskow semakin menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Belanda
cukup waspada akan besarnya massa di bawah kepemimpinan dan pengaruh
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda ini dengan mulai mengambil
tindakan-tindakan untuk memisahkan para pemimpin dari massanya, dengan cara
mengusir para pemimpinnya dari Hindia Belanda. Tan Malaka sebagai tokoh
Perserikatan Komunis di Hindia Belanda diusir pada tahun1922, Semaoen serta
Darsono bersama-sama kaum radikal Belanda lainnya diusir pada tahun 1923.
Tokoh-tokoh komunis Hindia Belanda tersebut tersebar di Asia dan Eropa sebagai
agen Kmintren atau Perserikatan Komunis di Hindia Belanda atau agen
kedua-duanya. Namun Semaoen dan Darsono masuk kembali ke Indonesia pada tahun
itu juga.
Dengan adanya
pengusiran tokoh-tokoh pimpinanPerserikatan Komunis di Hindia Belanda tersebut,
maka terjadilah kemerosotan kepemimpinan karena kurangnya tenaga-tenaga inti
yang dapat menanamkan ideologi partai dan disiplin, sehingga berakkibat
timbulnya tindakan sendiri-sendiri berupa aksi-aksi teror tanpa adanya
instruksi dari pimpinan. Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mulai melakukan
konsolidasi kembali setelah Darsono masuk kembali ke Indonesia pada tahun 1923.
Cababg-cabang Perserikatan Komunis di Hindia Belanda bertambah luas dan pada
bulan Juni 1924 Perserikatan Komunis di Hindia Belanda mengadakan Kongres di
Jakarta dengan mempergunakan nama Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk pertam
kalinya.
Setelah itu, PKI
berhasil tumbuh mmenjadi partai poitik yang memiliki massa pengikut yang
semakin besar. Meskipun demikian, PKI belum dapt melakukan kontrol dan
menanamkan disiplin serta idiologi pada massa pengikutnya.
Tindakan-tindakan
keras pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi Sarekat Rakyat menyebabkan Kongres
PKI pada bulan Desember 1924 di Kotagede, Yogyakarta mengambil keputusan untuk
melebur Sarekat Rakyat ke dalam PKI.
4.
Pergolakan
Rakyat Tahun 1926 – 1927
Setelah PKI merasa
bahwa pengaruhnya di dalam tubuh SI cukup besar, maka PKI mulai memanfaatkan
pengaruhnya untuk menggerakkan massa rakyat, dengan menggunakan bendera SI untuk
melakukan pergolakan fisik melawan pemerintah Hindia Belanda. Hal ini yang
memang merupakan salah satu tujuan perjuangan SI untuk mengusir penjajah
Belanda, sedangkan tujuan perjuangan PKI adalah mewujudkan masyarakat komunis
di Indonesia. Upaya PKI tersebut berhasil mencetuskan pergolakan rakyat di
beberapa tempat, yaitu pada tanggal 12 – 14 November 1926 di Karesidenan
Jakarta, tanggal 12 November – 5 Desember 1926 di Banten, tanggal 12 – 18
November 1926 di Priangan, tanggal 17 – 23 November 1926 di Surabaya, tanggal
12 November 1926 di Surakarta, tanggal 12 November – 15 Desember 1926 di
Kediri, dan tanggal 1 Januari – akhir Febuari 1927 di Silungkang, Sumatra
Barat.
Pergolakan rakyat
ini semuanya dapat diatasi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Banyak tokoh komunis
dan nasionalis ditangkap dan dipenjarakan, bahkan ada yang dibuang ke Digul,
Tanh Merah, Irian Jaya (Papua), tetapi tokoh komunis Alimin dan Muso berhasil melarikan
diri.
Pada tahun 1935
Komintren mengirim kembali seorang tokoh komunis ke Hindia Belanda, yakni Muso.
Dengan bantuan Djoko Sudjono, Pamudji, dan Achmad Sumadi, ia melakukan kegiatan
bawah tanah, tetapi rupa-rupanya kegiatan tersebut tidak menghasilkan sesuatu.
Muso sendiri pada tahun 1936 melarikan diri lagi ke luar hegeri dengan alasan
merasa tidak aman di Indonesia.
S u m b e r :
Sekretariat
Negara Republik Indonesia, Jakarta 1994
Gerakan
30 September PKI – Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya
—KSP42—
Jumat, 13 September 2019 – 16.05 WIB
Bumi Pangarakan, Lido - Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar