Blog Ki Slamet : Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Sabtu, 18 November 2016 - 05:38 WIB
Tentang kakawin
Bharata – Yuddha dalam bahasa Jawa kuno ini dapat dikatakan, bahwa kitab ini
disadur dalam bahasa Jawa baru menjadi Serat Bratyuda Jarwa oleh R.Ng.
Jasadipura bersama-sama dengan kakawin lainnya di sekitar tahun 1755, ialah
kira-kira akhir zaman Mataram Kartasura dan permulaan zaman Surakarta atau
Surakarta awal. Kitab Serat Bratyuda ini merupakan satu-satunya kitab dalam
kesusasteraan Jawa baru yang menyebutkan seorang tokoh sejarah, ialah raja
Jayabaya dari Kediri, seperti disebutkan dalam kitab tersebut. sebab dengan
adanya perpindahan puat kekuasaan politik dari Kediri, Singhasari, Majapahit,
Demak dan Pajang menuju ke Mataram, hubungan sejarah antara kerajaan-kerajaan
itu telah terputus-putus.
Tetapi, kakawin
Bharata-Yudha dalam pupuh I 6 dan 7,
begitu pula dalam Pupuh LII 10-13 itu
disebutkan nama raja Jayabhaya, nama raja ini terkenal juga sampai pada zaman
Mataram Kartasura, ketika kakawin Bharata-Yudha itu disadur menjadi Serat
Baratayuda oleh R.Ng. Jasadipura, Justru karena dalam seluruh kesusasteraan
Jawa baru hanya dikenal seorang tokoh sejarah saja, nama Jayabaya itu bersama-sama
dengan Serat Bratayuda yang juga mulai dipertunjukkan sebagai wayang itu
menjadi keramat. Bahkan nama raja Jayabaya dihubungkan dengan pralambang atau
ramalan-ramalan tentang sejarah pulau Jawa pada waktu yang akan datang, yang
pada dasarnya merupakan suatu kepercayaan kepada seoran ratu adil yang telah
dijalinkan dengan pengetahuan eschatologi Islam dan kepercayaan kepada
kedatangan seorang Imam Mahdi.
Nama raja
Jayabaya dalam kebudayaan Jawa juga menjadi keramat, karena cerita Bratayuda
itu tidak secara sembarangan dapat dipertunjukkan sebagai permainan wayang
kulit. Sebab, apabila tidak diadakan tindakaan-tindakan yang cermat untuk
menghindarkan sesuatu yang dapat membahayakan, baik dalang atau pemukul
gamelan, maupun orang yang mempunyai kerja atau penontonnya akan mengalami
salah suatu bahaya, sehingga pertunjukan wayang dengan mengambil salah suatu
episode dari cerita Bratayuda atau cerita seluruhnya itu sedapat mungkin tidak
dipertunjukkan. Dari beberapa peristiwa yang dialami oleh mereka yang pernah
melihat pertunjukan cerita Bratayuda sebagai lakon, ada beberapa macam
kejadian, ialah dari kejadian yang biasa sampai kejadian yang sangat
mengejutkan. Umpamanya saja dalangnya yang jatuh pingsan, kebakaran dalam dapur
dan sebagainya. Dengan itu nama Jayabaya yang masih dikenal sebagai pencipta
cerita Bratayuda secara psikologis makin kramat.
Karena adanya
hal-hal yang misterius mengenai Serat Bratayuda dan lakon Bratayudaitu, cerita
ini telah lama menjadi perhatian beberapa orang sarjana Barat yang mempelajari
pengetahuan Orientalistik. Salah seorang yang tertarik oleh Serat Bratayuda
saduran R. Ng. Jasadipura, ialah Thomas Stamford Raffles. Letnan Gubernur
Inggris di Jawa, yang telah memuji keindahan Serat Bratayuda itu dalam kitabnya
yang berjudul The Hisyory of Java. Karena kitab Serat Bratayuda pada waktu
Raffles memegang kekuasaan di pulau Jawa ( 1811 – 1816 ) belum dicetak, artinya
naskah-naskah masih dalam bentuk tulisan tangan, sebagian dari Serat Bratayuda
itu oleh Raffles itu telah dimuat dalam kitabnya tersebut di atas. Dengan ini
sebagian dari Serat Bratyuda telah dicetak dan diterjemahkan dalam bahasa
Inggris.
Sebagian akibat
adanya kegiatan dari pihak Inggris yang sekalipun hanya berkuasa di pulau Jawa
selama kira-kira 6 tahun, tetapi telah terbukti telah banyak menaruh perhatian
sejarah dan kebudayaan Indonesia.
Pemerintah Beanda dan sarjana-sarjana Belanda mulai terbuka matanya, bahwa di
Indonesia itu banyak manikam-manikam kesusasteraan yang tidak kalah nilainya
dengan karya kesusasteraan di bagian dunia yang manapun juga. Tidak
mengherankan, apabila sarjana P.P. Roorda van Eysinga, seorang sarjana Belanda
dan Guru Besar dalam ilmu-ilmu yang mengenai kebudayaan Indonesia, pada tahun
1849 menterjemahkan sebagian dari Serat Bratayuda dalam bahasa Belanda. Karena
yang diterjemahkan oleh Dr.P.P. Rooda van Eysinga itu hanya sebagian saja dari
kitab Serat Bratayuda, kemudian Pemerintah Belanda minta kepada Dr. A.B. Cohen
Stuart untuk menerbitkan seluruh kitan Serat Bratayuda dengan terjemahannya
dalam bahasa Belanda. Naskah Serat Bratayuda itu selesai dicetak dengan huruf
Jawa pada tahun 1856, dan pada tahun 1860 diterbitkan lagi dalam seri
Verhandelingen Bataviaasch Genoofschap, sedangkan terjemahannya dalam bahasa
Belanda juga diterbitkan sebagai seri Verhandelingen Bataviaasch Genooschap
pada tahun 1860.
Orang boleh
mengejek tentang cara bekerja Dr. A.B. Cohen Stuart dan beberapa banyak salah
yang dibuatnya, tetapi sebagai perintis dalam penyelidikan kebudayaan
Indonesia, pada waktu kira-kira sekitar tahun 1860-an, sarjana itu termasuk salah seorang sarjana yang tekun. Untuk menilai catatan-catatan
mengenai kebudayaan yang ditambahkan kepada terjemahan Serat Bratayuda itu
dapat diambil kesimpulan, bahwa Dr. A.B. Cohen Stuart itu telah memiliki
pengetahuan kebudayaan dan kesusasteraan Jawa yang luas.
Bahwa
dalam kalangan bangsa Indonesia sendiri juga ada yang memperhatikan Serat
Bratayuda, dibuktikan dengan nyata ketika kitab ini diterbitkan di Surakarta
oleh Diryaatmaja pada tahun 1901 dan 1908 dengan huruf Jawa. Ikhtisar dan isi
Serat Bratayuda ini dimuat juga dalam karya, Kats yang mencoba untuk mengadakan
tinjauan tentang wayang, karena seperti telah disinggung di atas bagian-bagian
dari cerita Ramayana dan Mahabharata mulai dipertunjukkan sebagai wayang kulit.
Barangkali lebih tepat untuk dirumuskan, bahwa lakon atau cerita wayang itu
diambil dari Serat Rama Jarwa dan Serat Bratyuda Jarwa.
S
u m b e r :
Prof.
Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto. 1968.
Kakawin
Bharata–Yuddha. Bhratara - Jakarta