Blog Ki Slamet 42 : Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Minggu, 30 Oktober 2016 - 06 : 33 WIB
Karna dan Arjuna Tanding |
SEJARAH KAKAWIN
BHARATAYUDA I
Oleh : Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Kakawin
Bharata-Yuddha yang ditulis oleh Mpu Seddah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh
merupakan salah satu karya indah dari zaman Kediri dan disusun atas perintah
raja Jayabhaya. Sekalipun tidak disebutkan, bahwa raja Jayabhaya itu dalam
kakawin Bharata-Yuddha memerintah di Kediri, melainkan bertahta di Daha, dapat
diketahui, bahwa Daha itu sama dengan Kediri. Ialah pecahan dari kerajaan
Airlangga yang pada akhir bertahtanya telah dibagi menjadi dua, ialah Janggala
dan Kaddiri.
Begitu pula,
karena nama nama raja Jayabhaya itu dikenal dari beberapa prasasti yang
menyebutkan nama raja itu sebagai raja Kediri dan berangka tahun 1135 dan
1146, nama Jayabhaya dari kakawin
Bharata-Yuddha itu dapat diidentifikasikan dengan nama Jayabhaya dari
prasasti-prasasti tersebut. karena kakawin Bharata-Yuddha juga berangka tahun
dalam bentuk candra tahun Çaka 1079, ialah tahun Masehi 1157 ini tidak
berselisih dengan angka tahun 1135 dan 1146, sehingga dengan ini dapat
ditentukan, bahwa Jayabhaya dari prasasti-prasasti itu identik dengan Jayabhaya
dari kakawin Bharata-Yuddha.
Jaman Kediri
yang berkembang antara tahun 1104 dan 1222 itu merupakan zaman keemasan
kesusasteraan Jawa kuno dan banyak kitab kakawin telah diciptakan oleh beberapa
pujangga, seperti Mpu Dharmaja, Mpu Sêddah dan Mpu Panuluh tersebut di atas,
Mpu Monagunna, Mpu Trigunna, Mpu Tanakung dan sebagainya.
Sekalipun dari
zaman Kediri dan dari zaman sesudah berkembangnya kerajaan Kediri itu banyak
karya para pujangga yang diciptakan dalam bahasa Jawa kuno, hanya kira-kira 4
kakawin yang tetap hidup dan dikenal dalam kesusasteraan Jawa baru, ialah
Kakawin Ramayana, kakawin Arjuna-wiwaha, kakawin Bharata-Yuddha dan kakawin
Uttara-kanndha, sedangkan sebaliknya 4 kakawin tersebut bersama-sama kakawin
lainnya tetap dibaca dan hidup di pulau Bali dan di pulau Lombok hingga
sekarang. Apabila kitab-kitab dari kesusasteraan Jawa kuno itu dilanjutkan
tradisinya di Bali dan Lombok, disebabkan karena kerajaan dari Jawa itu telah
diluaskan ke Bali, sejak zaman Kertanegara dari Singasari dan pada zaman
Majapahit, ketikaMahapatih Gajah Mada mempersatukan Indonesia. Janggal ataupun
tidak janggal kedengarannya, tapi kenyataannya ialah, bahwa rakyat di Bali dan
Lombok itulah yang memelihara kesusasteraan Jawa kuno.
Sebaliknya
apabila di kedua pulau itu perhatian terhadap kesusasteraan Jawa kuno tetap
dipelihara, di Jawa sendiri pemeliharaan buah-buah kesusasteraan tersebut mulai
terlantar. Salah satu sebabnya ialah, karena sejak runtuhnya kerajaan Majapahit
yang menjadi pusat kegiatan kesusasteraan Jawakuno, tidak ada lagi pusat
kekuasaan politik yang memberi iklim dapat berkembangnya kesusasteraan
tersebut. sebab setelah Majapahit runtuh dan kekuasaan politik yang
terpecah-pecah dalam tangan beberapa kepala daerah pesisir yang telah memeluk
agama Islam, seperti Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Giri, dan
sebagainya. Rupa-rupanya pujangga-pujangga yang mencari nafkah hidup itu
sesudah runtuhnya Majapahit mengabdikan diri kepada kepala-kepala daerah yang
ada di daerah pesisir tersebut dan terus memelihara kesusasteraan Jawa kuno
sambil menciptakan karya-karya baru dalam bahasa Jawa baru yang diabdikan untuk
meluaskan agama Islam.
Engan ini dapat
dikonstruksikan, nahwa pertumbuhan kesusasteraan Jawa kuno menuju ke arah
kesusasteraan Jawa baru melalui kesusasteraan Jawa tengahan, garisnya dapat
ditarik dari Majapahit menuju Gresik – Giri dan menuju ke Demak yang berkembang
antara tahun 1500 – 1555 dan sekitarnya. Karena dari sejarah politik dapat
diketahui, bahwa setelah Demak yang dapat direbut sebagian dari bekas kekuasaan
politik Majapahit itu runtuh, kekuasaan politik pindah ke Pajang untuk akhirnya
pindah ke Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senapati dan Sultan Agung, garis
pertumbuhan dan kehidupan kesusasteraan itu juga jalan melalui garis politik
tersebut, ialah Demak – Pajang – Mataram. Adanya garis pertumbuhan kesusasteraan itu dibuktikan
oleh kitab Kojajahan yang menurut penyelidikan R.M. Ng. Dr. Poerbacaraka
berdasarkan atas gaya bahasanya berasal dari Gresik – Giri dan yang
disebut-sebut dalam kitab Nitisruti. Apabila kitab Nitisruti menurut dongeng
adalah ciptaan Pangeran Karanggayam dari Pajang, menurut R.M.Ng.Dr.
Poerbacaraka berasal dari zaman Mataram awal, ialah pada zaman Panembahan Seda
Krapyak ( 1601 – 1613 ), raja Mataram yang kedua. Dengan ini jelaslah, bahwa
garis pertumbuhan kesusasteraan Jawa baru itu dapat ditarik dari Gresik –
Giri menuju ke Demak dan Pajang untuk
akhirnya sampai di Mataram zaman Islam. Berdasarkan atas kitab Nitisruti itu
disusun kitab Nitipraja yang ditulis tahun 1641 dan menurut dongeng kita
Nitipraja itu merupakan karya Sultan Agung ( 1613 – 1645 ) sendiri.
Apabila garis
pertumbuhan kesusasteraan Jawa kuno dapat diikuti dari sejak zaman kediri,
Singhasari dan Majapahit, padahal telah dibuktikan bahwa kesusasteraan Jawa
kuno dari zaman Majapahit itu juga melalui Gresik – Giri dan Demak tumbuh di Pajang dan Mataram sehingga menjadi
kesusasteraan Jawa baru, tidak dapat diingkari lagi bahwa ada garis pertumbuhan
yang melalui waktu yang lama, ialah dimulai dari abad 11 pada zaman Kediri
sampai pada zaman Mataram awal pada abad 17. Berdasarkan adanya pembuktian, bahwa ada garis
pertumbuhan kesusasteraan yang menuju kesusasteraan Jawa baru, gugurlah
pendapat Prof. Dr. C.C. Berg yang mengatakan, bahwa kesusasteraan Jawa baru
dari zaman Mataram Islam itu tidak ada hubungannya dengan kesusasteraan Jawa
kuno dari Majapahit, Singhasari dan Kediri.
Dengan ini dapat
diketahui, bahwa 4 buah kitab dari kesusasteraan Jawa kuno, ialah kakawin
Ramayana, kakawin Uttarakanda, kakawin Arjuna-wiwaha, dan kakawin
Bharata-Yuddha dengan melalui pemeliharaan di puasat-pusat kesusasteraan di
Gresik – Giri. Demak dan Pajang sampai Mataram.
Pada zaman
Mataram, khususnya pada zaman Kartasura akhir dan dan Surakarta awal pada
kira-kira tahun 1755. Jumlah pujangga yang mengenal kesusasteraan Jawa kuno
hanya tinggal sedikit dapat dihitung dengan jari. Karena timbul rasa
kekhawatiran, bahwa kitab-kitab kakawin dalam bahasa Jawa kuno itu akan hilang,
karena tidak terbaca lagi, beberapa orang pujangga, di antaranya Raden Ngabehi
Jasadipura mulai menyadur kitab-kitab kakawin tersebut dalam bahasa Jawa baru
dengan menggunakan tembang macapat. Karya-karya baru itu disebut jarwa yang
berarti makna.
Dalam hal ini
R.Ng. Jasadipura telah menyadur kitab kakawin Ramayanna dan kakawin Bharata
–Yuddha dari bahasa Jawa kuno ke dalam bahasa Jawa baru yang masing-masing
menjadi serat Rama atau Ramayana Jarwadan Serat Bratayuda atau Bratayuda Jarwa,
sedangkan kitab kakawin Arjunna – Wiwaha atau Wiwaha Jarwa dan juga terkenal
dengan Mintaraga oleh Paku Buwana III ( 1749 – 1788 ) dan satu naskah Serat
Arjuna – Wiwaha lainnya yang dikatakan sebagai karya R.Ng. Jasadipura juga.
Kakawin yang ke – 4 ialah kakawin Uttara – Kanndda, telah disadur dalam bahasa
Jawa baru oleh R. Ng. Sindusastra dengan judul Serat Arjunasasrabau dan juga
terkenal dengan nama Serat Lokapala. Dalam hubungan itu perlu diterangkan,
bahwa apabila kitab-kitab kakawin itu mempergunakan bahasa Jawa kuno dengan
memakai aturan syair India, kitab-kitab yang disebut Jarwa itu mempergunakan
bahasa Jawa baru dengan memakai aturan syair Indonesia asli yang disebut
macapat.
Tentang kakawin
Bharata – Yuddha dalam bahasa Jawa kuno ini dapat dikatakan, bahwa kitab ini
disadur dalam bahasa Jawa baru menjadi Serat Bratyuda Jarwa oleh R.Ng.
Jasadipura bersama-sama dengan kakawin lainnya di sekitar tahun 1755, ialah
kira-kira akhir zaman Mataram Kartasura dan permulaan zaman Surakarta atau
Surakarta awal. Kitab Serat Bratyuda ini merupakan satu-satunya kitab dalam
kesusasteraan Jawa baru yang menyebutkan seorang tokoh sejarah, ialah raja
Jayabaya dari Kediri, seperti disebutkan dalam kitab tersebut. sebab dengan
adanya perpindahan puat kekuasaan politik dari Kediri, Singhasari, Majapahit,
Demak dan Pajang menuju ke Mataram, hubungan sejarah antara kerajaan-kerajaan
itu telah terputus-putus.
S
u m b e r :
Prof.
Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto. 1968.
Kakawin
Bharata–Yuddha. Bhratara - Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar