Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Jumat, 01 Januari 2016 - 22:18 WIB
Kesuksesan setiap individu dalam belajar sangat
dipengaruhi oleh motif dan sikap yang melekat dalam diri individu pembelajar
itu sendiri. Berkata Imam Malik, “Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi!”
Kalimat itu menegaskan bahwa setiap pembelajar harus memiliki tingkat motivasi
yang tinggi dalam belajar. Sayangnya, kita selama ini belajar tanpa semangat
dan motivasi yang kuat. Lihat aja ekspresi wajah sahabat-sahabat kita atau
mungkin juga diri kita sendiri saat mengikuti diklat dan salah seorang pemberi
materi diklat tidak hadir. Atau ketika para mahasiswa perkulihannya kosong, atau Siswa-siswi di kelas saat jam kosong
karena gurunya tidak hadir mengajar karena sakit. Umumnya mereka merasa
senang dan bahagia bagai lepas dari suasana
tegang yang menderanya, dan mereka bisa mengobrol kian kemari tanpa dibatasi
oleh aktifitas yang bersifat formal.
Apakah ini menjadi cermin rendahnya motivasi kita dalam belajar?
Selain masalah motivasi, hal lain yang ditekankan
Imam Malik kepada murid-muridnya saat mengajar di sebuah masjid adalah sikap
ketika belajar. Belajar itu harus didasari pada
sikap positif, dan harus menghilangkan kesombongan dalam diri. “Mereka tidak boleh
melangkahi bahu jamaah dan bersedia duduk di posisi mana saja yang menurut
mereka nyaman.”
Kisah Imam Malik di atas, mengingatkan saya pada tulisan
Ustadz Mohammad Fauzil Adhim dalam bukunya “Membuka
Jalan ke Sorga”. Beliau mengutip kata-kata Lorraine Monroe. Suatu waktu ia
harus menangani siwa-siwa SMA dengan latar belakang dari keluarga berantakan (broken home), yang terbiasa dengan hidup
dalam suasana yang penuh dengan kekerasan. Dia melakukan dua langkah:
1. Pertama,
membangkitkan high level of
expectation (tingkat harapan yang tinggi). Para siswa diberi motivasi agar
mempunyai target, tujuan, dan cita-cita besar.
2. Kedua,
meletakkan dasar keyakinan (belief)
yang kuat sebagai penggerak melakukan pencapaian yang terbaik (the spirit of ekcellent).
Dari sikap Imam Malik dan penanganan Lorraine
Monroe, kita temukan kaidah belajar: milikilah motivasi belajar terlebih dahulu
sebelum belajar tentang teknik-tekniknya.
Motivasi yang kuat menunjukkan karakter yang kuat.
Kita akan menyaksikan, anak-anak yang diaktifkan
kemampuan kognitif terendahnya, yaitu menghafal, ternyata tidak memiliki percaya
diri yang baik. Kita menemukan pula kelas-kelas yang terlalu padat dengan
muatan materi ternyata sangat miskin motivasi. Kita pun menyaksikan bahwa
lingkungan kita lebih mengagumi dan membanggakan prestasi kognitif, meskipun konsep
tentang kecerdasan majemuk telah lama disampaikan.
Banyak pelajar dan mahasiswa kita menginginkan
prestasi, namun sayang mereka tidak memiliki sikap prestatif. Mereka ingin jadi
juara, tapi tanpa disadari justru mereka menceburkan diri dalam perilaku yang
tak patut, seperti menyontek. Perbuatan
menyontek itu lahir dari keinginannya untuk berprestasi, tapi miskin sikap
prestatif. Karena itu langkah yang diambil adalah langkah pragmatis. Nah, jika
ini yang terjadi dalam diri kita maka sesungguhnya kita mengalami masalah dalam
proses pembelajaran.
Alhasil, kita pun memendam banyak pertanyaan:
mengapa ilmu yang kita pelajari di sekolah atau dipergurun tinggi, ternyata
tidak memiliki efek dalam membentuk sikap hidup keseharian? Dalam sebuah
seminar penelitian, saya berkesempatan bincang-bincang dengan seorang kandidat
doktor di bidang psikologi. Saya melontarkan pertanyaan menggelitik, “Kenapa
beberapa orang yang belajar psikologi belkum tentu memiliki sikap empati dalam
pergaulan daripada mereka yang tidak mempelajarinya.” Beliau tertawa lalu
mengatakan, “Kan psikologi untuk anda!” Tidak ada jawaban, tapi saya
menyimpulkan betapa rumitnya persoalan ini.
Baiklah, kita ambil pertanyaan lain. Kenapa mereka
yang belajar eksakta belum tentu menggunakan cara-cara ilmiah dalam memecahkan
persoalan keseharian? Kenapa mereka yang belajar ilmu ekonomi tidak lebih gesit
dalam berbisnis? Kenapa mereka yang belajar sastra tidak lebih kreatif daripada
mereka yang tidak mempelajarinya secara formal? Dan, kenapa mereka yang belajar
ilmu keislaman di sekolah dan perguruan tinggi Islam tidak lebih ‘Islami’ dibanding
yang lain? Jadi, dalam hal ini kita menemukan jarak antara pengetahuan yang
kita pelajari dengan pembbentukan pola pikir dan pola sikap keseharian kita.
Pustaka:
Dwi Budiyanto
Prophetic Learning (Menjadi Cerdas dengan Jalan
Kenabian)
Pro U-Media, 2009,Yogyakarta
Bumi
Pangarakan, Bogor
Jumat, 02
Januari 2016 – 04:05 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar