Guru SMAN 42 Jakarta Menulis
Ki Slamet 42 Blog - Dalam buku tulisan Sayyid Quthb Ma’âlim fî ath-Tharîq, beliau menjelaskan tentang prilaku insan
pembelajar generasi sahabat Nabi, yang memberi gambaran kepada kita tentang apa
yang menjadi keistimewaan generasi pertama Islam itu sehingga mampu melakukan
lompatan besar memimpin garda peradaban dunia?
Menurutnya, “Kehebatan generasi
sahabat bukan semata-mata karena di sana ada Rasulullah, sebab jika ini
jawabannya berart iIslamtidak rahmatan lil ’alamîn. Kehebatan mereka terletak pada semangat
mereka untuk belajar lalu secara makimalberupaya mengamalkannya.”
Ternyata,
proses belajar yang harus kita lakukan tidak berhenti terbatas mempelajari
sesuatu, tetapi sekaligus belajar untukmengaplikasikan. Dari pandangan Sayyid Quthb di atas, kita
menemukan jawaban atas jarak yang membentang antara pengetahuan yang kita pelajari
dengan pembentukan pola pikir dan pola sikap keseharian kita.
Generasi
sahabat mengetengahkan sebuah pandangan tentang belajar untuk memahami (learning how to think). Rata-rata mereka memiliki semangat prima
dalam hal ini. Mereka sangat haus dengan
pengetahuan. Kemauan (irâdah) terhadap ilmu melampaui
keinginan mereka kepada yang lai. Tapi,
generasi itu juga menjelaskan tentang belajar
untuk mengamalka (learning how to do). Satu unit pengetahuan yang mereka peroleh
langsung mereka aplikasikan, begitu yang kita tangkap dari penjelasan Sayyid
Quthb. Mungkin inilah semangat yang
perlu kita miliki; setelah mendapatkan satu unit pengetahuan, maka harus ada
langkah konkret untuk mengaplikasikannya.
Pada apapun yang kita pelajari, langkah ini akan menguatkan pengetahuan
yang diperoleh.
Analisis
Sayyid Quthb terhadap generasi sahabat juga menjelaskan kepada kita tentang
kesadaran diri para sahabat untuk menjadi pribadi paripurna. Rentetannya sebagai berikut. Mereka memiliki kesadaran diri untuk menjadi
pribadi paripurna (takwa). Syaratnya mereka
perlu menginvestasikan amal-amal yang berkualitas. Untuk tujuan semua itu mereka belajar. Jadi, setiap kita perlu belajar untuk menjadi (learning how to be). Itu artinya,
apa pun yang kita pelajari harus mampu membentuk pola pikir dan pola sikap kita
dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang
disebut sebagai transfer of learning.
Apa
yang dikemukakan Sayyid Quthb di atas, ternyata memiliki persamaan dengan
gagasan Imam al-Ghazali. Menurutnya,
pengetahuan memasuki wilayah kepribadian seseorang melalui tiga tahap; teori, aplikasi,
dan pengalaman. Ketiga hal ini mampu
mengerahkan seluruh potensi kita dalam proses belajar ketika ditunjang oleh
minat yang kuat. Itulah sebabnya, kita
harus menguasai teori bidang yang kita pelajari, merancang penerapannya, dan
memperkaya dengan pengalaman-pengalaman.
Tentu untuk mencapai target di atas kita tidak mungkin hanya
mengandalkan sekolah atau kampus saja.
kita juga perlu memperluas lingkungan belajar kita.
Hanya
saja, untuk memperluas lingkungan belajar kita membutuhkan minat yang
kuat. Minat yang kuat lahir dari tradisi
belajar dan tradisi ilmiah yang baik. Nah,
sekarang bagaimana kita menjadikan tradisi belajar benar-benar menlekat dalam
diri kita tanpa terkait dengan momentum-momentum tertentu, misalnya ujian. Selain itu, bagaimana kita menciptakan
motivasi bahwa apa pun yang kita lakukan pada hakikatnya merupakan proses
belajar, karena belajar merupakan seni untuk mengembangkan diri.
Referensi :
Dwi Budiyanto,
Prophetic Learning (Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian) – pro-U Media, 2009,
Yogyakarta
Bumi Pangarakan, Bogor
Kamis, 31 Desember 2015 – 08:50 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar