Denmas Priyadi
Blog │ Rabu, 12 Juni 2013 │ 18:48 WIB
|
Minangkabau |
Dikisahkan, suatu ketika terjadilah pembicaraan antara
Raja Besar dan Raja Kecil di salah satu kerajaan di daerah Sumatra Barat. Raja
kecil mempunyai seorang penasihat yang terkenal dengan kebijaksanaannya dan kecerdikannya
bernama Catri Bilang Pandai. Berkatalah ia kepada Raja Penakluk:
“Paduka, jika Paduka hendak berperang, kami tidak melawan. Jika Paduka hendak berkuasa, kami juga tidak mau tunduk. Menurut tradisi rakyat kami, Raja yang ingin berkuasa dengan perang bukanlah raja yang adil.”
“Kami tidak mengerti dengan apa yang kamu maksudkan?” Berkata sang Raja
Penakluk sambil mengerutkan dahinya.
“Begini Paduka, mengapa bukan hewan milik kita saja yang diadu untuk berkelahi? Jika hewan Paduka yang menang, kami mengaku kalah. Akan tetapi, jika hewan kami yang menang Paduka harus mengaku kalah.”
“Baiklah aku setuju. Tapi hewan apa yang akan di adu?” Tanya Raja
Penakluk.
“Di kerajaan Paduka tentu banyak kerbau, di kerajaan kami juga banyak.
Mengapa tidak kerbau saja yang kita adu untuk berkelahi?” Catri Bilang Pandai
mengajukan usul.
Pada hari yang telah disepakati, kedua belah pihak berbaur. Mereka makan dan minum bersama-sama sepuas hati. Dibukalah gelanggang aduan. Diiringi bunyi-bunyian musik yang terus berkumandang dengan berbagai macam hiburan yang disajikan. Tibalah saatnya perkelahian kerbau dimulai. Raja Penakluk melepaskan kerbaunya yang sangat besar, kuat, dan menyeramkan membuat seluruh penduduk negeri gempar. Kepalanya merunduk, ekornya mengibas-ngibas, siap menghadapi lawannya. Akan tetapi karena lama lawannya tak kunjung dating, kerbau itu merumput dengan tenangnya.
Pada saat itulah kerbau anak negeri dilepas ketengah gelanggang. Yang menjadi pertanyaan adalah kerbau itu hanya seekor anak kerbau kecil yang sedang menyusui dan kelaparan setelah seminggu tidak menyusu. Di ujung hidungnya diikatkan taji yang sudah diasah tajam sekali.
Melihat kerbau besar di tengah gelanggang, anak kerbau itu kemudian menyeruduk keperut kerbau untuk menyusu karena disangka induknya. Kerbau besar yang sebelumnya sangat menyeramkan itu lari tunggang langgang karena kesakitan, perutnya tertusuk taji yang sangat tajam. Kerbau itu kemudian lari dari satu kampong ke kampong yang lain. Di suatu kampong, isi perutnya terburai menyebar keluar. Menurut bahasa penduduk, isi perut kerbau itu tersimpurut.
Sejak kejadian tersebut nama kampong itu adalah Simpurut. Setiba di kampong yang lain, kerbau itu mati, jangatnya (kulit luar) dikuliti untuk dijadikan bedug. Oleh karena itu, kampong tempat orang menguliti kerbau itu diberi nama Sijangat. Kampong tempat mengadu kedua kerbau itu diberi nama MINANGKABAU.
Sampai sekarang, ketiga kampong yang bersejarah itu masih ada dengan nama yang sama. Selanjutnya, Raja Penakluk tidak kembali lagi ke negerinya. Dia tidak dipandang sebagai raja yang kalah melainkan dihormati dan diambil untuk jadi menantu raja. Menurut cerita sejarah, dia bukan lain adalah Adityawarman yang mendirikan istana di Pagaruyung.
Penulis:
Slamet Priyadi - Kp. Pangarakan - Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar