Prof. dr. Edi Sedyawati |
Minggu, 27 September 2015 - Dalam kebudayaan-kebudayaan daerah tertentu di Indonesia, pengertian tari seperti tak dapat dipisahkan dari pencak, karena keduanya lahir dari satu lingkungan penggiat. Sekurang-kurangnya ada empat kebudayaan daerah yang memperlihatkan gejala ini, yaitu Minangkabau, Sunda, Melayu dan Batak.
Dalam kebudayaan Minangkabau,
kegiatan pencak maupun tari dilakukan oleh suatu kelompok warga komuniti yang disebut orang mudo. Mereka ini terdiri dari kaum lelaki yang bukan ninik mamak. Mereka
merupakan nerupakan suatu golongan masyarakat tersendiri. Kegiatan pencak maupun tari dan juga
bentuk-bentuk kesenian lain, mereka lakukan di sasaran, yaitu suatu tempat terbuka yang tanahnya sudah
diratakan. Setiap desa, atau di Minang
disebut nagari, mempunyai sebuah sasara. Baik sasarannya
maupun isi perbendaharaan pencak-silat dan keseniannya adalah hak milik nagari
yang bersangkutan. Dengan kata lain,
perbendaharaan tersebut merupakan atribut nagari. Dengan demikian, bertolak dari struktur
kebudayaan ini sebenarnya tak mungkin disebutkan manakah gaya tari atau gaya
pencak Minang itu secara umum. Yang
jelas dapat dilihat adalah gaya dari nagari-nagari. Namun struktur budaya dasar tersebut tidak
melintasi perkembangan masyarakat masa kini, sehingga citra mengenai uniknya
perbendaharaan nagari-nagari ini di sana- sini telah mengabur. Pelembagaan festival-festival,
sekolah-sekolah dan berbagai keperluan nasional lain telah merentang jaring
antara nagari-nagari tersebut. beberapa
nagari mempunyai suatu kekuatan tertentu dalam mewujudkan dan mengembangkan repertoire khasnya, sehingga miliknya
tersebut sering ‘diangkat’menjadi milik Minang pada umumnya. Proses pembentukan citra Minang yang umum ini
dipercepat oleh hadirnya Akademi Seni Karawitan Indonesia dan Sekolah Menengah
Karawitan Indonesia di Padang Panjang yang berfungsi sebagai katalisator.
Dalam distem budaya Minang semula
tidak dikenal penampilan wanita di dalam tari.
Dengan kata lain wanita tak dibenarkan tampil di depan umum. Hanya dalam sastra Minang sering diberikan
deskripsi mengenai gadis ideal, yang kalau berjalan pado pai suruik nan labih ( = daripada maju, mundurnya yang lebih )
dengan kwalitas langkah yang dilukiskan sebagai samuik tapijak indak mati, alu rataruang patah tigo ( = semut
terpijak tidak mati, alu teratung patah tiga ).
Jadi gerak-gerik wanita ideal ini adalah lemah lembuttampaknya, tetapi
besar kekuatannya. Dalam kenyataan, repertore tari di nagari-nagari tidak
ada yang sifatnya lemah gemulai dan melenggang lenggok, melainkan kebanyakan
bersifat keras dan cekatan. Yang dapat
dilihat sebagai kekecualian adalah jenis tari
Saputangan di daerah pasisir
(daerah pantai) yang memperlihatkan pengaruh Portugis/Spanyol pada ritme
musiknya. Sifat jantan tarian Minang itu
mungkin disebabkan, pertama oleh karena semua ditarikan oleh laki-laki (juga
peran-peran wanita dalam teater Minang yang bernama randai) dan kedua oleh karena tari yang menjadi milik nagari-nagari
itu lahir bersama pencak dari satu kandungan.
Informasi dari daerah Paninan
misalnya, menyatakan bahwa tari, pencak dan silattak dapat dipisahkan satu sama
lain, karena memiliki perbendaharaan gerak yang sama. Yang membedakan ketiganya hanyalah
penggunaannya. Silat adalah jika
gerak-gerak itu digunakan dalam pertarungan dan bela diri sesungguhnya; pencak
adalah jika gerak-gerak itu digunakan dalam berlatih kelenturan, kecepatan,
kekuatan dan lain-lain agar siap untuk digunakan bersilat; sedang tari adalah
jika gerak-gerak itu digunakan untuk mendapatkan kenikmatan dan keindahan
bentuknya, disertai tingkahan ritme oleh gendang. Jadi kita lihat pula di sini, bahwa kecuali
tari tak dapat dipisahkan dari pencak, ia juga tak dapat dipisahkan dari
gendang.
Beberapa nama tarian milik
nagari-nagari yang dapat disebutkan adalah misalnya Alang Suntiang dari Padang Laweh, Adok dari Santiang Bakar, Alau-ambek
dari Sungai Sarik, Bénten dari
Painan, serta jenis-jenis perbendaharaan seperti Séwah, tari Perang, tari
Tangan, tari Kain, tari-tarian yang bertema Elang, tari Gelombang dan lain-lain yang terdapat dalam berbagai wujud di
berbagai nagari. Semua tari-tarian asal
nagari ini berdaar pencak. Jenis tari
yang lemah gemulai, khususnya tarian wanita seperti misalnya tari Pyung dan versi gemulai dari tari
Lilin, masih harus diteliti asal usulnya.
Petunjuk-petunjuk tertentu mengisyaratkan bahwa tari-tari Minang yang
gemulai ini lahirnya di kota-kota khususnya di lembaga-lembaga non-adat seperti
sekolah-sekolah perkumpulan-perkumpulan kesenian. Seorang tokoh pembaharu tari Minang, yaitu
Huriyah Adam almarhu, ingin mengembalikan citra tari Minang ke dasar-dasar
pencak. Ia kembali berpaling ke
nagari-nagari untuk mencari sumbernya.
Di atas telah disebutkan bahwa
perbendaharaan dasar dari tari, pencak dan silat di Minang adalah sama. Yang tetap itu adalah aspek bentuk
daripadanya, sedang aspek dinamik atau kwalitas gerak pada umumnya mengalami
perubahan jika terjadi modulasi antara
ketiga modus tersebut. sebuah geraka
pada pencak bisa menjadi keras, tajam dan cepat apabila digunakan dalam silat
dan sebaliknya bisa menjadi melemah dan penentuan arahnya tidak terlalu tajam
apabila digunakan dalam tari.
Hubungan yang erat diperlihatkan
pula oleh tari dan pencak dalam kebudayaan Sunda, meskipun tampak juga bahwa
kedua jenis kegiatan itu menbentuk dua lingkaran yang terpisah. Dalam lingkaran pencak terdapat penyajian gendang pencak yang dalam hal ini merupakan demonstrasi gerak-gerak pencak
dengan iringan gendang. Bedanyanya
dengan keadaan Minang adalah bahwa di sini tak terdapat modulasi kwalitas
gerak; jadi yang disajikan dalam gendang
pencak ini adalah sepenuhnya gerak-gerak pencak dan para penghayatnya
memang tak pernah menyebutnya tari.
Gerak-gerak pencak seperti yang
ditampilkan dalam gendang pencak itu sering pula sering pula disajikan dalam
kombinasi dengan suatu penyajian kesenian, misalnya berbagai jenis penyajian
teater, atau tari seperti Ketuk Tilu. Dalam penampilan yang dipadukan dengan
kesenian ini biasanya gerak-gerak pencaknya menjadi sedikit melunak. Dalam pertunjukan-pertunjukan rakyat di
Pasunfan, apabila tampil seorang pelaku pria menari, boleh dipastikan bahwa gerak
pencaklah yang dipakainya sebagai dasar.
Adapun penari wanita memperlihatkan gaya gerak yang berbeda: hampir tak
pernah mengambil sikap tubuh sléwah (Jawa
= menghadapkan torso dan tungkai ke arah yang berlawanan), yaitu sikap yang
justru menandai daar gerak pencak.
Adapun dalam tari-tarian Sunda urban, berawal dari ibing keurseus yang dibentuk atas dasar topeng Cirebon yangural itu, kesamaan sifat dengan
gerak-gerak pencak sudah hampir tak terlihat lagi. Ciri bentuk yang memperlihatkan kedekatan
dengan gerak pencak adalah sikap-sikap lengan dengan menyilangkan pergelangan
tangan di depan dada. Kenyataan ini
menyajikan tanda tanya tersendiri: adakah ciri tersebut merupakan sisa-sisa
asal kepencakan dari tari Sunda urban tersebut,
ataukah itu merupakan hasil saling pengaruh antara dua sumber oleh gerak, yaitu
pencak di satu pihak dan gaya tari di pihak lain.
Dalam tari Melayu, gaya gerak
pencak dipakai untuk penari pria. Namun
dalam hal ini gaya pencak ini tidaklah menandai keseluruhan tari pria,
melainkan hanya digunakan sebagai penyeling saja. geraknya tidak berkwalitas keras dan
tajam-arah, melainkan halus dan berarah bebas.
Dalam kesenian Batak dikenal tortor dihat artinya tari pencak. Dihat sebagai kegiatan tersendiri yang lepas dari
kesenian, rupanya sudah lama tak hidup lagi di tanah Batak.
Gaya gerak pencak yang bercirikan
sikap dasar sléwah itu dalam banyak
tarian Batak dari berbagai daerah menandai tari prianya. Hanya saja tidak dalam semua tarian penari
pria bergaya pencak. Dalam hal tari-tari
upacara adat, misalnya ketika menari bersama kelompok hula-hula dan boru,*) maupun dalam jenis tari muda-mudi, baik
tari wanita maupun prianya sama sekali tidak menunjukkan ciri-ciri gerak pencak. Bahkan sebaliknya, sikap tubuh sangat
frontal, dengan torso dengan kedua
tungkaiyang keseluruhannya membentuk kesatuan sikap yang hampir dapat dikatakan
kaku, sedang lengan dan tangan bergerak minimal dalam arah-arah simetris. Gaya gerak pencak hanya diperlihatkan oleh
penari-penari pria pada beberapa tarian tertentu. Yang paling jelas adalah pada tortor dihat tersebut di atas. Dalam cara ungkapan yang lebih lunak ini
diperlihatkan juga oleh tarian burung
enggang dalam tari huda-huda dari
Simalungun. Dalam tari para datu (medium yang dulu berfungsi sebagai
kepala adat), apakah itu pada waktu menari dengan tunggal penaluan ( = tongkat keramat yang melambangkan kosmos) ataukah sedang menggoreskan
rajah di atas tanah, sering disertai gerak-gerak keras dalam sikap-sikap
pencak. Tarian para datu ini pada umumnya (dulu) tidak terikat oleh koreografi
tertentu, melainkan bersifat dadakan, atau dengan kata lain mengikuti petunjuk
dari alam gaib. Maka patut
dipertanyakan, apa sebab sikap pencak sering muncul pada tarian datu?
Apakah dihat merupakan
perlengkapan wajib dari seorang datu? Ataukah dihat
pernah sangat populer dalam masyarakat Batak pada umumnya, sehingga kesan kinestetisnya masuk secara tak disadari
ke dalam setiap diri setiap warga suku Batak yang memilikinya, sedemikian dalam
masuknya sehingga ia bisa muncul sewaktu seseorang berada di luar kesadarannya?
Mungkin masih ada daerah-daerah
lain di Indonesia yang memperlihatkan hubungan erat antara pencak dan tari
seperti halnya pada keempat daerah terebut di atas. Pada umumnya sikap-sikap kepencakan itu hanya
menandai tari pria saja. kekecualiannya
adalah pada tari Minang. Di sini peran
wanita pun, misalnya Puti Bungsu dalam
Tari Adok, ditarikan dengan gaya
pencak.
Pada beberapa daerah tertentu di
Indonesia, tari-tari pria menunjukkan kaitan yang amat erat dengan konsep
perang. Tari-tari kelompok pria dari
Nias, Maluku, Irian, dan Nusa Tenggara memperlihatkan ini. Gerak-gerak menyerang, mengelak dan mengintai
ada dalam tari-tarian tersebut, meskipun dalam gaya yang amat berbeda dengan
yang ditampilkan oleh ‘lingkungan’ pencak.
Maka di sini menjadi menarik untuk melihat adanyadua ‘kebudayaan perang’
ini. Dapatkah suatu taksonomi (taxonomy) disusun mengenai tari-tarian
Indonesia dan dari situ menyumbangkan sesuatu untuk pengelompokan budaya
Nusantara?
Untuk sementara cukuplah dikenali
kenyataan ini: bahwa dalam kebanyakan taridaerah di Indonesia, tari pria tumbuh
dari atau sejajar dengan ide berkelahi atau berjuang. Inilah mungkin yang menyebabkan bahwa
laki-laki yang menari tidaklah menjadi keperempua-perempuanan selama ia
menarika tari pria.
*) Falsafah adat Batak yang
bertumpu pada Dalihan na Tolu (tungku
nan tiga)menentukan adanya pembagian
tiga kelompok besar menurut kedudukannya
dalam hirarki keadatan. Penentuan ini
selalu bertitik tolak dari sudut posisi suhut
(yang punya hajat atau yang mengadakan pesta/acara adat lainnya). Ketiga kelompok tersebut ialah, Dongan sabutuha ialah saudara-saudara
(tidak termasuk wanita) dari suhut dan
pada umumnya yang se-marga dengan suhut (tidak termasuk wanita yang se-marga)
Boru ialah anak-anak perempuan
dari suhut, termasuk suami-suami
mereka. Juga termasuk “kelompok” boru ialah saudara-saudara perempuan
dari suhut, termasuk suami-suami dan
keturunan mereka dan namboru (bibi)
dari suhut serta suami dan anak
keturunan mereka.
Hula-hula ialah pihak tertua dari suhut. Termasuk kelompok ini
ialah semua saudara laki-laki dari sang mertua, serta anak keturunan mereka
(tidak termasuk perempuan), atau menurut istilahnya yang lazim: dongan
sabotuha-nya.
Pada waktu menari, ketiga kelompok ini berdiri pada
posisi-posisi tertentu. Masing-masing
kelompok dalam barisannya sendiri-sendiri (tidak boleh campur-baur dengan
kelompok lain). Posisi dalam barisan
kelopok diatur menurut hirarki atau “kelas” masing-masing menurut adat.
Demikian pula bentuk tari yang ditarikan tidak
sama. Umpamanya, jika suhut menari berhadapan dengan hula-hula, maka pihak suhut menarikan tari somba-somba (tari sembah), sementara hula-hula menjawab dengan tari pasu-pasu (tari memberkati).
Pustaka
Prof. Dr.
Edi Sedyawati. “Pertumbuhan Seni Pertunjukan” hal. 72—76
Pustaka
Sinar Harapan 2000 – Direktorat Pendidikan Menengah Umum