Sabtu, 26 September 2015

“PENCAK SEBAGAI SUMBER DAN SAUDARA KANDUNG TARI” Oleh : Prof. Dr. Edi Sedyawati

Prof. dr. Edi Sedyawati


Minggu, 27 September 2015 - Dalam kebudayaan-kebudayaan daerah tertentu di Indonesia, pengertian tari seperti tak dapat dipisahkan dari pencak, karena keduanya lahir dari satu lingkungan penggiat.  Sekurang-kurangnya ada empat kebudayaan daerah yang memperlihatkan gejala ini, yaitu Minangkabau, Sunda, Melayu dan Batak.


Dalam kebudayaan Minangkabau, kegiatan pencak maupun tari dilakukan oleh suatu kelompok warga komuniti yang disebut orang mudo.  Mereka ini terdiri dari kaum lelaki yang bukan ninik mamak.  Mereka merupakan nerupakan suatu golongan masyarakat tersendiri.  Kegiatan pencak maupun tari dan juga bentuk-bentuk kesenian lain, mereka lakukan di sasaran, yaitu suatu tempat terbuka yang tanahnya sudah diratakan.  Setiap desa, atau di Minang disebut nagari, mempunyai sebuah sasara.  Baik sasarannya maupun isi perbendaharaan pencak-silat dan keseniannya adalah hak milik nagari yang bersangkutan.  Dengan kata lain, perbendaharaan tersebut merupakan atribut nagari.  Dengan demikian, bertolak dari struktur kebudayaan ini sebenarnya tak mungkin disebutkan manakah gaya tari atau gaya pencak Minang itu secara umum.  Yang jelas dapat dilihat adalah gaya dari nagari-nagari.  Namun struktur budaya dasar tersebut tidak melintasi perkembangan masyarakat masa kini, sehingga citra mengenai uniknya perbendaharaan nagari-nagari ini di sana- sini telah mengabur.  Pelembagaan festival-festival, sekolah-sekolah dan berbagai keperluan nasional lain telah merentang jaring antara nagari-nagari tersebut.  beberapa nagari mempunyai suatu kekuatan tertentu dalam mewujudkan dan mengembangkan repertoire khasnya, sehingga miliknya tersebut sering ‘diangkat’menjadi milik Minang pada umumnya.  Proses pembentukan citra Minang yang umum ini dipercepat oleh hadirnya Akademi Seni Karawitan Indonesia dan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia di Padang Panjang yang berfungsi sebagai katalisator.
Dalam distem budaya Minang semula tidak dikenal penampilan wanita di dalam tari.  Dengan kata lain wanita tak dibenarkan tampil di depan umum.  Hanya dalam sastra Minang sering diberikan deskripsi mengenai gadis ideal, yang kalau berjalan pado pai suruik nan labih ( = daripada maju, mundurnya yang lebih ) dengan kwalitas langkah yang dilukiskan sebagai samuik tapijak indak mati, alu rataruang patah tigo ( = semut terpijak tidak mati, alu teratung patah tiga ).  Jadi gerak-gerik wanita ideal ini adalah lemah lembuttampaknya, tetapi besar kekuatannya.  Dalam kenyataan, repertore tari di nagari-nagari tidak ada yang sifatnya lemah gemulai dan melenggang lenggok, melainkan kebanyakan bersifat keras dan cekatan.  Yang dapat dilihat sebagai kekecualian adalah jenis tari Saputangan di daerah pasisir (daerah pantai) yang memperlihatkan pengaruh Portugis/Spanyol pada ritme musiknya.  Sifat jantan tarian Minang itu mungkin disebabkan, pertama oleh karena semua ditarikan oleh laki-laki (juga peran-peran wanita dalam teater Minang yang bernama randai) dan kedua oleh karena tari yang menjadi milik nagari-nagari itu lahir bersama pencak dari satu kandungan.
Informasi dari daerah Paninan misalnya, menyatakan bahwa tari, pencak dan silattak dapat dipisahkan satu sama lain, karena memiliki perbendaharaan gerak yang sama.  Yang membedakan ketiganya hanyalah penggunaannya.  Silat adalah jika gerak-gerak itu digunakan dalam pertarungan dan bela diri sesungguhnya; pencak adalah jika gerak-gerak itu digunakan dalam berlatih kelenturan, kecepatan, kekuatan dan lain-lain agar siap untuk digunakan bersilat; sedang tari adalah jika gerak-gerak itu digunakan untuk mendapatkan kenikmatan dan keindahan bentuknya, disertai tingkahan ritme oleh gendang.  Jadi kita lihat pula di sini, bahwa kecuali tari tak dapat dipisahkan dari pencak, ia juga tak dapat dipisahkan dari gendang.
Beberapa nama tarian milik nagari-nagari yang dapat disebutkan adalah misalnya Alang Suntiang dari Padang Laweh, Adok dari Santiang Bakar, Alau-ambek dari Sungai Sarik, Bénten dari Painan, serta jenis-jenis perbendaharaan seperti Séwah, tari Perang, tari Tangan, tari Kain, tari-tarian yang bertema Elang, tari Gelombang dan lain-lain yang terdapat dalam berbagai wujud di berbagai nagari.  Semua tari-tarian asal nagari ini berdaar pencak.  Jenis tari yang lemah gemulai, khususnya tarian wanita seperti misalnya tari Pyung dan versi gemulai dari tari Lilin, masih harus diteliti asal usulnya.  Petunjuk-petunjuk tertentu mengisyaratkan bahwa tari-tari Minang yang gemulai ini lahirnya di kota-kota khususnya di lembaga-lembaga non-adat seperti sekolah-sekolah perkumpulan-perkumpulan kesenian.  Seorang tokoh pembaharu tari Minang, yaitu Huriyah Adam almarhu, ingin mengembalikan citra tari Minang ke dasar-dasar pencak.  Ia kembali berpaling ke nagari-nagari untuk mencari sumbernya.
Di atas telah disebutkan bahwa perbendaharaan dasar dari tari, pencak dan silat di Minang adalah sama.  Yang tetap itu adalah aspek bentuk daripadanya, sedang aspek dinamik atau kwalitas gerak pada umumnya mengalami perubahan jika terjadi modulasi antara ketiga modus tersebut.  sebuah geraka pada pencak bisa menjadi keras, tajam dan cepat apabila digunakan dalam silat dan sebaliknya bisa menjadi melemah dan penentuan arahnya tidak terlalu tajam apabila digunakan dalam tari.
Hubungan yang erat diperlihatkan pula oleh tari dan pencak dalam kebudayaan Sunda, meskipun tampak juga bahwa kedua jenis kegiatan itu menbentuk dua lingkaran yang terpisah.  Dalam lingkaran pencak terdapat penyajian gendang pencak yang dalam hal ini merupakan demonstrasi gerak-gerak pencak dengan iringan gendang.  Bedanyanya dengan keadaan Minang adalah bahwa di sini tak terdapat modulasi kwalitas gerak; jadi yang disajikan dalam gendang pencak ini adalah sepenuhnya gerak-gerak pencak dan para penghayatnya memang tak pernah menyebutnya tari.
Gerak-gerak pencak seperti yang ditampilkan dalam gendang pencak itu sering pula sering pula disajikan dalam kombinasi dengan suatu penyajian kesenian, misalnya berbagai jenis penyajian teater, atau tari seperti Ketuk Tilu.  Dalam penampilan yang dipadukan dengan kesenian ini biasanya gerak-gerak pencaknya menjadi sedikit melunak.  Dalam pertunjukan-pertunjukan rakyat di Pasunfan, apabila tampil seorang pelaku pria menari, boleh dipastikan bahwa gerak pencaklah yang dipakainya sebagai dasar.  Adapun penari wanita memperlihatkan gaya gerak yang berbeda: hampir tak pernah mengambil sikap tubuh sléwah (Jawa = menghadapkan torso dan tungkai ke arah yang berlawanan), yaitu sikap yang justru menandai daar gerak pencak.
Adapun dalam tari-tarian Sunda urban, berawal dari ibing keurseus yang dibentuk atas dasar topeng Cirebon yangural itu, kesamaan sifat dengan gerak-gerak pencak sudah hampir tak terlihat lagi.  Ciri bentuk yang memperlihatkan kedekatan dengan gerak pencak adalah sikap-sikap lengan dengan menyilangkan pergelangan tangan di depan dada.  Kenyataan ini menyajikan tanda tanya tersendiri: adakah ciri tersebut merupakan sisa-sisa asal kepencakan dari tari Sunda urban tersebut, ataukah itu merupakan hasil saling pengaruh antara dua sumber oleh gerak, yaitu pencak di satu pihak dan gaya tari di pihak lain.
Dalam tari Melayu, gaya gerak pencak dipakai untuk penari pria.  Namun dalam hal ini gaya pencak ini tidaklah menandai keseluruhan tari pria, melainkan hanya digunakan sebagai penyeling saja.  geraknya tidak berkwalitas keras dan tajam-arah, melainkan halus dan berarah bebas.
Dalam kesenian Batak dikenal tortor dihat artinya tari pencak.   Dihat  sebagai kegiatan tersendiri yang lepas dari kesenian, rupanya sudah lama tak hidup lagi di tanah Batak.
Gaya gerak pencak yang bercirikan sikap dasar sléwah itu dalam banyak tarian Batak dari berbagai daerah menandai tari prianya.  Hanya saja tidak dalam semua tarian penari pria bergaya pencak.  Dalam hal tari-tari upacara adat, misalnya ketika menari bersama kelompok hula-hula dan boru,*) maupun dalam jenis tari muda-mudi, baik tari wanita maupun prianya sama sekali tidak menunjukkan  ciri-ciri gerak pencak.  Bahkan sebaliknya, sikap tubuh sangat frontal, dengan torso dengan kedua tungkaiyang keseluruhannya membentuk kesatuan sikap yang hampir dapat dikatakan kaku, sedang lengan dan tangan bergerak minimal dalam arah-arah simetris.  Gaya gerak pencak hanya diperlihatkan oleh penari-penari pria pada beberapa tarian tertentu.  Yang paling jelas adalah pada tortor dihat tersebut di atas.  Dalam cara ungkapan yang lebih lunak ini diperlihatkan juga oleh tarian burung enggang dalam tari huda-huda dari Simalungun.  Dalam tari para datu (medium yang dulu berfungsi sebagai kepala adat), apakah itu pada waktu menari dengan tunggal penaluan ( = tongkat keramat yang melambangkan kosmos) ataukah sedang menggoreskan rajah di atas tanah, sering disertai gerak-gerak keras dalam sikap-sikap pencak.  Tarian para datu ini pada umumnya (dulu) tidak terikat oleh koreografi tertentu, melainkan bersifat dadakan, atau dengan kata lain mengikuti petunjuk dari alam gaib.  Maka patut dipertanyakan, apa sebab sikap pencak sering muncul pada tarian datu?  Apakah dihat merupakan perlengkapan wajib dari seorang datu?  Ataukah dihat pernah sangat populer dalam masyarakat Batak pada umumnya, sehingga kesan kinestetisnya masuk secara tak disadari ke dalam setiap diri setiap warga suku Batak yang memilikinya, sedemikian dalam masuknya sehingga ia bisa muncul sewaktu seseorang berada di luar kesadarannya?
Mungkin masih ada daerah-daerah lain di Indonesia yang memperlihatkan hubungan erat antara pencak dan tari seperti halnya pada keempat daerah terebut di atas.  Pada umumnya sikap-sikap kepencakan itu hanya menandai tari pria saja.  kekecualiannya adalah pada tari Minang.  Di sini peran wanita pun, misalnya Puti Bungsu dalam Tari Adok, ditarikan dengan gaya pencak.
Pada beberapa daerah tertentu di Indonesia, tari-tari pria menunjukkan kaitan yang amat erat dengan konsep perang.  Tari-tari kelompok pria dari Nias, Maluku, Irian, dan Nusa Tenggara memperlihatkan ini.  Gerak-gerak menyerang, mengelak dan mengintai ada dalam tari-tarian tersebut, meskipun dalam gaya yang amat berbeda dengan yang ditampilkan oleh ‘lingkungan’ pencak.  Maka di sini menjadi menarik untuk melihat adanyadua ‘kebudayaan perang’ ini.  Dapatkah suatu taksonomi (taxonomy) disusun mengenai tari-tarian Indonesia dan dari situ menyumbangkan sesuatu untuk pengelompokan budaya Nusantara?
Untuk sementara cukuplah dikenali kenyataan ini: bahwa dalam kebanyakan taridaerah di Indonesia, tari pria tumbuh dari atau sejajar dengan ide berkelahi atau berjuang.  Inilah mungkin yang menyebabkan bahwa laki-laki yang menari tidaklah menjadi keperempua-perempuanan selama ia menarika tari pria.

*) Falsafah adat Batak yang bertumpu pada Dalihan na Tolu (tungku nan tiga)menentukan adanya  pembagian tiga kelompok besar menurut  kedudukannya dalam hirarki keadatan.  Penentuan ini selalu bertitik tolak dari sudut posisi suhut (yang punya hajat atau yang mengadakan pesta/acara adat lainnya).  Ketiga kelompok tersebut ialah, Dongan sabutuha ialah saudara-saudara (tidak termasuk wanita) dari suhut dan pada umumnya yang se-marga dengan suhut (tidak termasuk wanita yang se-marga)
Boru ialah anak-anak perempuan dari suhut, termasuk suami-suami mereka.  Juga termasuk “kelompok” boru ialah saudara-saudara perempuan dari suhut, termasuk suami-suami dan keturunan mereka dan namboru (bibi) dari suhut serta suami dan anak keturunan mereka.       
Hula-hula ialah pihak tertua dari suhut.  Termasuk kelompok ini ialah semua saudara laki-laki dari sang mertua, serta anak keturunan mereka (tidak termasuk perempuan), atau menurut istilahnya yang lazim: dongan sabotuha-nya.
Pada waktu menari, ketiga kelompok ini berdiri pada posisi-posisi tertentu.  Masing-masing kelompok dalam barisannya sendiri-sendiri (tidak boleh campur-baur dengan kelompok lain).  Posisi dalam barisan kelopok diatur menurut hirarki atau “kelas” masing-masing menurut adat.
Demikian pula bentuk tari yang ditarikan tidak sama.  Umpamanya, jika suhut menari berhadapan dengan hula-hula, maka pihak suhut menarikan tari somba-somba (tari sembah), sementara hula-hula menjawab dengan tari pasu-pasu (tari memberkati).

Pustaka
Prof. Dr. Edi Sedyawati. “Pertumbuhan Seni Pertunjukan” hal. 72—76
Pustaka Sinar Harapan 2000 – Direktorat Pendidikan Menengah Umum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar